Minggu, 11 Agustus 2013

Resume IMPLEMENTASI PERAN KEPEMIMPINAN NASIONAL DAPAT MENINGKATKAN PENGUASAAN IPTEK




TUGAS  RESUME
images






Di Susun Oleh
Nama                           :Yanus Kepno
Npm                            :102041060
Dosen                          :Drs  Syamsu Aman,SA,M.Si
Mata Kuliah                :Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia

SEKOLAH  TINGGI  ILMU PEMERINTAHAN  ABDI  NEGARA  (STIP-AN)

JAKARTA

2013









IMPLEMENTASI PERAN KEPEMIMPINAN NASIONAL DAPAT MENINGKATKAN PENGUASAAN IPTEK
Pendahuluan
Paradigma baru, pemerintahan baru, ilmu dan teknologi baru, informasi baru, pendekatan baru, silih berganti membawa perubahan dalam sejarah peradaban bangsa kita. Perubahan semakin besar terasa, ketika perputarannya semakin cepat seperti sekarang ini. Ketika segala sesuatu di sekitar kita berubah: keinginan dan kebutuhan masyarakat, produk-produk hukum berubah, negara-negara lain menerapkan strategi bersaing yang selalu diperbaharui, serta seluruh infrastruktur ekonomi juga menggandeng teknologi yang terus berubah, maka perubahan bukan lagi satu pilihan, melainkan keharusan. Prinsip perubahan adalah ”melihat”, ”merasakan” dan ”melakukan”.
 Perubahan bukan bermuara pada pendekatan manajemen, teknis, anggaran, atau pun pendekatan ilmiah yang canggih lainnya, melainkan pada SDM yang terlibat dalam perubahan tersebut. Dengan demikian juga harus berujung pada perubahan sikap manusia. Dalam konteks nasional, kepemimpinan nasional memiliki peran kunci dalam perubahan ini. Sementara disadari bahwa saat ini kepemimpinan nasional di masa transisi memperlihatkan tidak mudah untuk mengkonsolidasikan sumber daya dan potensi bangsa untuk mencapai cita-cita baru yang diimpikan bersama
Pemberlakuan otonomi daerah telah mendorong pengembangan potensi lokal atau daerah sebagai orientasi baru bagi pengembangan wilayah di Indonesia. Selain itu, kebijakan otonomi daerah memicu setiap daerah untuk berlomba-lomba mengembangkan daerahnya masing-masing dengan potensi daerah yang dimilikinya agar mampu bertahan dan bersaing dengan daerah-daerah lain. Potensi alam yang kaya serta melimpahnya tenaga kerja, sepatutnya menjadi pendorong pembangunan ekonomi. Hanya saja kebijakan yang diambil selama ini kurang mempertimbangkan kinerja yang integral dalam skala nasional. Penerapan otonomi daerah, sesungguhnya dapat mendorong peran daerah lebih strategis terutama dalam membangun keunggulan ekonomi berbasis lokalitas (Wrihatnolo, 2006).
Potensi daerah yang demikian beragam, merupakan suatu yang perlu diintegrasi dalam konsep yang jelas melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pimpinan baik daerah maupun nasional. Koherensi kebijakan ini termasuk dalam menentukan kebijakan pengembangan, penerapan, dan peningkatan IPTEK akan sangat mempengaruhi daya saing ekonomi baik daerah maupun nasional. Tulisan ini berusaha mengungkap peran kepemimpinan nasional dalam peningkatan penguasan IPTEK.
Konsep Kepemimpinan Nasional dan Tantangan Global
Pada prinsipnya pengertian kepemimpinan nasional tidak jauh berbeda dari pengertian kepemimpinan pada umumnya, hanya luas cakupan dan landasan serta prioritasnya yang berbeda.   Dari berbagai literatur kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi seseorang dengan sarana komunikasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Harold Koontz dan  Cyrill O’Donnel; Joseph L. Massie dan John Douglas) melalui sebuah hubungan yang memungkinkan untuk bekerja bersama-sama secara ikhlas (George R. Terry) dan terjadi dalam situasi yang diharapkan kemampuan untuk memecahkan permasalahan dalam kelompok (Henry Pratt Fairchild).
Sementara ini kepemimpinan nasional  adalah kelompok pemimpin bangsa pada segenap strata kehidupan  nasional didalam setiap gatra (Asta Gatra) pada bidang/ sektor profesi baik di supra struktur, infra struktur dan sub struktur, formal dan informal yang memilki kemampuan dan kewenangan untuk mengarahkan/ mengerahkan kehidupan nasional (bangsa dan negara) dalam rangka pencapaian tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta memperhatikan dan memahami perkembangan lingkungan strategis guna mengantisipasi berbagai kendala dalam memanfaatkan peluang.
Dalam lingkungan strategis yang berubah dengan cepat, perlu kualitas kepemimpinan nasional yang baik. Dengan kualitas ini kepemimpinan nasional akan mampu untuk membawa bangsa ini dalam mencapai tujuan nasional melalui tahapan-tahapan pembangunan yang terprogram terarah dan berkelanjutan. Proses terbentuknya kepempimpinan nasional bukanlah proses yang sederhana, karena hal ini terkait dengan penyiapan SDM yang akan menjadi pemimpin di eranya bagi masa depan bangsa dan keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang akan memikul langsung tanggung jawab strategis di lingkungan negara, bangsa dan masyarakat.
Tantangan global saat ini yang dihadapi bangsa Indonesia terkait dengan ketahanan nasional yang paling utama adalah pada rendahnya daya saing bangsa. Dalam menghadapi arus sejarah pada abad ke-21, teknologi akan menjadi penggerak perubahan yang paling utama baik itu pada level bangsa, korporasi, perusahaan, komunitas, ataupun individu. Dalam PDB Negara-negara berkembang telihat adanya porsi teknologi yang semakin besar baik digunakan dalam pertanian, industri, perdagangan, keuangan, pendidikan, kesehatan, pertahanan, atau jasa. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi dan daya saing sebuah bangsa sangat dipengaruhi oleh penguasaan teknologi. Teknologi menjadi sumber bagi tumbuhnya knowledge capital suatu bangsa.
Kecenderungan ini akan terus menguat, karena proses pengembangan teknologi tidak akan pernah berhenti. Di sisi lain, disadari bahwa anggaran pengembangan teknologi di Indonesia justru turun dalam beberapa tahun terakhir.menyadari bahwa alokasi dana untuk penelitian dan pengembangan (R&D-research and development) di Indonesia pada tahun 2005 masih rendah – yaitu sekitar Rp 1 trilyun. Karena itulah, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan porsi itu menjadi lebih memada.
Bukti-bukti empiris menunjukkan hampir semua inovasi teknologi merupakan hasil dari suatu kolaborasi, apakah itu kolaborasi antar-pemerintah, antar-universitas, antar-perusahaan, antar-ilmuwan, atau kombinasi dari semuanya. Aktivitas ini pun relatif belum terfasilitasi dengan baik dalam beberapa kebijakan yang dikeluarkan pada level pimpinan nasional. Rendahnya knowledge sharing dan aliansi strategis antar beberapa lembaga menjadi penunjang pula bagi rendahnya invensi dan inovasi teknologi di Indonesia.
Dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, tidak dapat dipungkiri bahwa sektor yang dikedepankan untuk mempercepat pembangunan sekaligus sebagai sektor strategis yang mendorong perekonomian nasional adalah iptek. Iptek haruslah dilihat dalam pengertian luas mencakup ilmu-ilmu pengetahuan alam, ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, teknologi, manajemen, serta seni dan desain. Hal tersebut merupakan faktor pendorong yang sangat vital dalam pembangunan dan pemandirian bangsa. Ketika arah pengembangan iptek dapat diselaraskan dengan arah-arah kegiatan pembangunan di berbagai sektor, kinerja pembangunan akan lebih efektif dan capaian pembangunan (output, outcome, dan dampak) terjamin keberlanjutannya. Sebaliknya, ketika kegiatan pembangunan tidak ditopang iptek, dapat terjadi gejala pembangunan berbiaya tinggi, kebergantungan pada bantuan iptek luar negeri, dan tidak berkelanjutan.
Menjadikan teknologi sebagai daya ungkit ketahanan nasional menjadi salah satu ukuran kinerja berjalannya kepemimpinan nasional. Peran-peran baru dalam kepemimpinan nasional dalam perubahan lingkungan strategis akan menentukan daya saing melalui pemanfaatan teknologi dalam rangka peningkatan ketahanan nasional. Suatu kepemimpinan yang mampu memanfaatkan sumber daya yang ada sesuai kebutuhan terkini tanpa mengabaikan tetap memberikan peluang yang sama pada generasi masa depan sebagai pembangunan ekonomi, sosial, dan juga proteksi pada lingkungan alam.

Landasan Kepemimpinan Nasional
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu terus-menerus memperbaharui pemahaman dan kesepakatan bersama dalam membangun Indonesia. Kesepakatan ini dipandu oleh visi Indonesia jangka menengah dan jangka panjang. Arah Indonesia dalam jangka panjang 2005-2025 telah ditetapkan dalam UU Nomor 17 tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Sedangkan dalam jangka menengah, kita segera akan menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahap kedua tahun 2009-2014. Dalam konteks ini, proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah baik di tingkat Nasional maupun di masing-masing Daerah harus diserasikan. Dengan demikian, strategi dan pelaksanaan pembangunan Indonesia yang inklusif dapat segera dilaksanakan secara efektif dan saling menunjang[9]. Peran kepemimpinan nasional untuk mengarahkan pembangunan nasional ini menjadi kunci keberhasilan pencapaian berbagai sasaran pembangunan yang telah ditetapkan.
Wawasan kebangsaan para pimpinan nasional yang tertuang dalam pemahaman akan empat pilar (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI) menjadi dasar bagi pembentukan kepemimpinan nasional yang baik. Dalam pendekatan teori Kepemimpinan  Nasional, wawasan nusantara dan ketahanan nasional merupakan cara pandang dan konsepsi berpikir untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap pimpinan di semua level sebagai mana diamanatkan presiden terutama pada tataran kebijakan dan operasional harus memiliki pemahaman dan penghayatan yang sama tentang hal ini agar terhindar dari sikap ego kedaerahan, mencari prestise dan menikmati enaknya jadi pemimpin. Visi, persepsi dan interpretasi, keserasian, keseimbangan dan rasa memiliki serta bertanggungjawab menjadi dasar penyelarasan pengembangan iptek di berbagai level. Melalui pemahaman Wasantara dengan benar akan terlihat implementasi kepemimpinan yang mempunyai wawasan kebangsaan serta meletakan penjabaran kepentingan nasional diatas segalanya dengan diilhami visi pada konsepsi Ketahanan Nasional.
Peran Kepemimpinan Nasional dalam Kebijakan Teknologi
Penguasaan dan pemanfaatan dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional diperlukan dukungan dan komitmen seluruh komponen bangsa bukan hanya pemerintah saja. Karena kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak terletak dari individu melainkan dari kelompok para peneliti baik dari lembaga penelitian pemerintah, swasta dan yang ada ditengah masyarakat. Pemerintah mempunyai kewajiban dalam mengarahkan dan memfasilitasi, mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Arah dan fasilitas yang didukung oleh pemerintah adalah kebijakan serta fasilitas lembaga penelitian yang memadai yang dapat lebih menumbuhkembangkan kepercayaan masyarakat terhadap hasil yang diraih bangsa. Orientasi pengembangan IPTEK adalah untuk meningkatkan kemampuan litbang nasional dalam konstribusi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pertumbuhan ekonomi. Dalam pengembangan, penerapan, dan peningkatan IPTEK akan tergantung pada brainware, technoware, dan organoware. Penggerak komponen semua komonen itu tetap pada brainware yang berarti sumber daya manusia yang handal dan memiliki kepedulian pada pertumbuhan daya saing bangsa terutama bidang IPTEK.
Memperhatikan perubahan lingkungan strategis yang ada dan untuk mendukung kewaspadaan nasional, perlu sebuah pendekatan agar teknologi dapat berkembang sesuai dengan keunggulan setiap daerah. Peran penting antara pemerintah baik pusat maupun daerah, lembaga penelitian dan perguruan tinggi, serta kalangan dunia usaha sangat penting. Integrasi ketiga elemen dalam mendukung kewaspadaan nasional perlu diterapkan melalui aliansi strategis. Aliansi strategis ini dapat terjadi ketika didukung kepemimpinan nasional yang baik.
Aliansi strategis adalah hubungan formal antara dua atau lebih kelompok untuk mencapai satu tujuan yang disepakati bersama ataupun memenuhi bisnis kritis tertentu yang dibutuhkan masing-masing organisasi secara independen. Aliansi strategis pada umumnya terjadi pada rentang waktu tertentu, selain itu pihak yang melakukan aliansi bukanlah pesaing langsung, namun memiliki kesamaan produk atau layanan yang ditujukan untuk target yang sama. Dengan melakukan aliansi, maka pihak-pihak yang terkait haruslah menghasilkan sesuatu yang lebih baik melalui sebuah transaksi. Dengan aliansi maka terjadi kooperasi atau kolaborasi dengan tujuan muncul sinergi. Dengan aliansi setiap partner dapat saling berbagi kemampuan transfer teknologi, risiko, dan pendanaan.
Peran kepemimpinan nasional terutama terkait dengan integrasi bangsa pada setiap pengambil kebijakan di semua partner yang melakukan aliansi akan dapat menjadikan tujuan dapat lebih efektif tercapai. Dalam pengembangan teknologi Indonesia yang akan menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi, sangat penting untuk membangun pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai nasionalisme untuk pengembangan dan pemanfaatan teknologi pada para pimpinan semua level. Peningkatan kandungan teknologi (technology content) dalam setiap bidang pendukung kehidupan akan dapat menghasilkan peningkatan ekonomi (knowledge economy) secara signifikan.
Pola kepemimpinan nasional harus diperankan untuk memanfaatkan sumber daya bangsa Indonesia yang melimpah. Seperti diketahui, Bangsa Indonesia yang secara geografis menempati wilayah yang berada di persimpangan alur lalu-lintas internasional tentunya memiliki peran penting untuk terlibat aktif dalam berbagai derap langkah pembangunan berskala global yang dicirikan dengan meningkatnya ketergantungan antar satu bangsa dengan bangsa lainnya. Hal ini dapat terjadi ketika bangsa Indonesia mampu membangun kemandirian dalam banyak aspek termasuk teknologi. Hanya dengan kemandirian ini, bangsa Indonesia dapat mulai berbicara tentang kesalingtergantungan secara sejajar. Sebagai bangsa yang posisi wilayahnya telah berperan sebagai titik temu berbagai budaya dan kepentingan antar bangsa, suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia untuk memberikan peran signifikan dalam pembangunan global. Kepemimpinan nasional memiliki peran penting untuk mengeluarkan kebijakan untuk membangun keunggulan teknologi berbasis pada keuntungan posisi ini.
Selain itu, kepemimpinan nasional juga harus mampu mengintegrasikan kebijakan agar pemanfaatan sumber daya alam dapat berkelanjutan. Sumberdaya alam di Indonesia yang melimpah merupakan kekuatan ketika dimanfaatkan secara maksimal untuk memenangkan persaingan global. Selain dari sisi geografis kedudukan Indonesia merupakan salah satu pasar yang sangat potensial bagi perkembangan ekonomi dan industri dunia.
Untuk menuju bangsa dan negara maju dengan kemampuan berbasis Iptek ada beberapa tahapan yang telah dikembangkan melalui Kementerian Riset dan Teknologi, yaitu: tahap awal/tahap penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas), tahap akselarasi  dan tahap berkelanjutan.
Tahap awal …tahap penguatan sistim inovasi nasional dan pola pembangunan Iptek, …dalam tahapan proses recovery setelah didera krisis multidemensi dan perkembangan situasi politik yang sangat dinamis…diperlukan dukungan komitmen politik yang kuat untuk membangun negara… menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berhasil…kurun waktu 2010-2014…
tahap akselerasi…perwujudan masyarakat berbasis Iptek…dorongan implementasi Iptek yang semakin memadai dalam sektor industri… meningkatkan pertumbuhan sektor jasa… kurun waktu 2015 – 2019…
…tahap keberlanjutan… merupakan perwujudan masyarakat berbasis Iptek…yang ditandai pencapaian proses industrialisasi yang cepat … dengan memperhatikan kekuatan ekonomi domestik dan kesejahteraan masyarakat… dalam implementasi Visi – Misi Iptek 2025 dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berbasis Iptek…indikator yang dapat dipilih untuk menjadi acuan keberhasilan diantaranya ialah Terbentuknya komunitas masyarakat yang membangun Masyarakat berbasis Iptek dalam berbagai sektor utama…
Pada saat ini persaingan dunia di era globalisasi bukan bertumpu pada kekuatan sumber daya alam saja melainkan penguasaan teknologi yang handal dari hasil anak bangsa. Dengan penguasaan teknologi, daerah dapat mengembangkan, meningkatkan dan memecahkan permasalahan di dalam perekonomian daerah menuju kesejahteraan masyarakat. Tercapainya tujuan ini, memerlukan kemampuan integrasi kebijakan para pimpinan nasional. Kesadaran kesalingtergantungan antar lembaga, tentu akan membutuhkan jenis kepemimpinan yang berbeda. Keadaan saling bergantung (interdependence) yang sebagian besar didorong oleh teknologi, menghubungkan setiap orang dan semua hal dimana-mana. Hal itu mengarahkan untuk kolaborasi dalam banyak bentuk. Keadaan saling bergantung berfokus pada visi yang saling tumpang tindih, masalah bersama, dan tujuan yang sama, untuk mencari kesamaan serta memelihara minat yang sama. Berlawanan dengan keadaan saling bergantung, keragaman (diversity) memperhatikan karakter khas dari individu, kelompok, dan organisasi.  Oleh karena merefleksi kebutuhan manusia akan identitas, keragaman menyoroti keunikan setiap orang, menggarisbawahi perbedaan, serta menekankan kebebasan dan individualisme. Ini adalah kekuatan bagi diferensiasi sosial, ekonomi, dan budaya.
Terobosan untuk mempercepat penguasaan teknologi harus dilakukan terutama oleh pemerintah melalui pola kepemimpinan nasional untuk membuat kejelasan dan ketegasan sikap politik, yang diwujudkan melalui penyusunan kebijakan yang sesuai, alokasi anggaran yang sesuai, dan diplomasi internasional yang tegas dengan memperhatikan kondisi geografis dan geopolitik sebagai basis diferensiasi teknologi.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, negara-negara maju sebagai produsen teknologi tinggi secara alamiah ingin mempertahankan keunggulan komparatif tersebut atas negara-negara lain di dunia. Setiap keputusan pemerintah yang diambil pimpinan nasional di negara berkembang yang dapat membuat negara tersebut menguasai teknologi tinggi terkadang bertentangan dengan kepentingan negara-negara maju. Pada umumnya negara-negara maju tersebut akan berusaha secara halus maupun kasar untuk membuat agar pemerintah negara berkembang membatalkan keputusannya. Apabila bangsa Indonesia tidak berani berbeda pendapat dengan pemerintah negara-negara maju, maka kemampuan teknologi Indonesia sulit untuk meningkat secara substansial. Oleh karena itulah, diperlukan keberanian untuk melakukan upaya-upaya yang bersifat terobosan demi suksesnya kepentingan nasional dengan memperhatikan keunggulan yang dimiliki agar tidak mudah ditiru oleh pesaing global.
Dengan keuntungan posisi startegis Indonesia, sesungguhnya sangat mungkin membangun teknologi yang berdaya saing. Untuk membangun teknologi yang mendukung perekonomian secara signifikan, menurut Lall (1998), ada lima faktor determinan yang perlu diperhatikan dalam pembangunan sains dan teknologi nasional yang merupakan kebijakan dalam kepemimpinan nasional, yakni (1) sistem insentif, (2) kualitas sumber daya manusia, (3) informasi teknologi dan pelayanan pendukung, (4) dana, dan (5) kebijakan sains dan teknologi sendiri.
Untuk mengurangi hambatan dan penyelesaian masalah dalam pengembangan, penerapan dan peningkatan IPTEK dibutuhkan suatu kepemimpinan yang mampu membuat jaringan. Sehingga berbagai kebutuhan, perbedaan prioritas, pemanfaatan sumber daya, dapat digunakan secara baik. Dengan model kepemimpinan yang mengintegrasikan berbagai potensi ini akan lebih memudahkan menggabungkan orang-orang, ide-ide, dan institusi yang berbeda, meskipun berbeda asal. Kepemimpinan nasional ini dapat mengenali dasar yang sama, sehingga dapat ditemukan berbagai alternatif bagi pemecahan masalah bersama. Berbeda dengan tipe pemimpin individualistis, para pemimpin integratif dapat melihat tumpang-tindih antara visi mereka dan visi pemimpin lain.
Untuk terbentuk kepemimpinan nasional yang baik ini ada beberapa ciri kepemimpinan yang berkarakter yang mampu mendorong peningkatan IPTEK dalam lingkungan nasional yang beraneka ragam ini. Aktualisasi karakter kepemimpinan yang diharapkan bangsa dan negara adalah yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia dari ketergantungan (dependency) menuju kemerdekaan (independency), selanjutnya menuju kontinum maturasi diri yang komplit ke saling tergantungan (interdependency), memerlukan pembiasaan melalui contoh keteladanan perilaku para elite politik yang bergerak di eksekutif, yudikatif dan legislatif dalam lingkungan yang kondusif. Karakter yang dibutuhkan adalah perilaku dan sifat-sifat seperti:
  1. Kesadaran diri sendiri (self awareness) jujur terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain, jujur terhadap kekuatan diri, kelemahan dan usaha yang tulus untuk memperbaikinya.
  2. Dasarnya seseorang pemimpin cenderung memperlakukan orang lain dalam organisasi atas dasar persamaan derajat, tanpa harus menjilat keatas menyikut kesamping dan menindas ke bawah. Pemimpin perlu berempati terhadap bawahannya secara tulus.
  3. Memiliki rasa ingin tahu dan dapat didekati sehingga orang lain merasa aman dalam menyampaikan umpan balik dan gagasan-gagasan baru secara jujur, lugas dan penuh rasa hormat kepada pemimpinnya.
  4. Bersikap transparan dan mampu menghormati pesaing atau musuh, dan belajar dari mereka dalam situasi kepemimpinan ataupun kondisi bisnis pada umumnya.
  5. Memiliki kecerdasan, cermat dan tangguh sehingga mampu bekerja secara professional keilmuan dalam jabatannya. Hasil pekerjaanya berguna bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
  6. Memiliki rasa kehormatan diri (a sense of personal honour and personal dignity) dan berdisiplin pribadi, sehingga mampu dan mempunyai rasa tanggungjawab pribadi atas perilaku pribadinya. Tidak seperti saat ini para pemimpin saling lempar ucapan pedas terhadap rekan sejawatnya yang berbeda aliran politiknya.
  7. Memiliki kemampuan berkomunikasi, semangat team work, kreatif, percaya diri, inovatif dan mobilitas.
Teori Filsafat Hukum Sebagai Sumber Inspiratif Terhadap Nilai Luhur Pancasila
Perkembangan Filsafat hukum dimulai dengan sejarah filsafat barat, yang merupakan filsafat kuna dan terbagi dalam beberapa zaman seperti zaman Filsafat Pra – Sokrates, tokoh pertamanya adalah Thales (+ 625 -545 SM) samapai kepada zaman yang terakhir adalah Leukippos dan Demokritos, keduanya yang mengajarkan tentang atom. Akan tetapi yang paling dikenal adalah Demokritos (+460-370 SM) sebagai Filsuf Atomik. Dalam Perkembangan sejarah filsafat yang terkenal dengan  para ahli filsafat, seperti  kaum sofis dan Sokrates, Protagoras dan ahli sofis yaitu Gorglas yang terkenal diathena. Masih banyak lagi para ahli filsafat dari beberapa periode seperti pada masa  Filsafat pada abad Petengahan, filsafat masa peralihan ke zaman modern dan Filsafat Modern. Perkembangan filsafat tersebut adalah merupakan sebagai akar dari fisafat hukum yaitu pada era abad ke 19, dimana filsafat hukum menjadi landasan ilmu-ilmu dibidang  hukum, seperti Ilmu Politik, Ilmu Ekonomi, dan lain-lainnya.
Berkaitan dengan sejarah perkembangan filsafat hukum, di Indonesia perkembangan filsafat hukum dapat dilihat pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, dimana pembudayaan nilai dasar negara Pancasila sebagai ideologi nasional secara filosofis-ideologis dan konstitusional adalah imperatif. Karenanya, semua komponen bangsa, lebih-lebih kelembagaan dan kepemimpinan negara berkewajiban melaksanakan amanat dimaksud.
Demi tegaknya sistem kenegaraan Pancasila, negara (i.c. Pemerintah) berkewajiban mendidikkan dan membudayakan nilai dasar negara (ideologi negara, ideologi nasional) bagi generasi penerus demi integritas NKRI.  Pemikiran-pemikiran   untuk pelaksanaan pembudayaan nilai dasar negara Pancasila seyogyanya dikembangkan secara melembaga, konsepsional dan fungsional oleh negara dengan mendayagunakan semua kelembagaan dan komponen bangsa.
Tujuan dan Maksud
Bertujuan untuk mengetahui secara mendalam filsafat Hukum yang merupakan sumber dari sagal ilmu pengetahuan, dengan bercermin kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang merupakan proyeksi di unsur-unsur filsafat hukum, dengan maksud untuk memperdalam nilai-nilai filsafat hukum yang terkandung didalam nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang diselaraskan dengan kondisi dan sistim hukum di Negara Indonesa. Proyeksi nilai-nilai luhur tersebut adalah sebagai realisasi dari filsafat hukum yang merupakan sumber dari segala sumber Ilmu Pengetahuan di dunia.
Kerangka Teori dan Konseptual
Dengan didasari oleh Kerangka teori dan konsep dari filsafat hukum adalah Filsafat Kuna yaitu Thales dari Milotos yang difinisinya adalah  :
“  Bahwa asal mula segalanya dari air, yang dapat diamati dalam bentuk yang bermacam-maca, tampak sebagai benda halus (uap), benda cair (air), dan sebagai benda keras (es) ”.
Teori dan Konsep dari Filsafat Abad Pertengahan (Skolastik)bernama Johanes Eriugena yaitu :
“ Bahwa makin umum sifat sesuatu, makin nyatalah sesuatu itu, yang paling bersifat umum itulah yang paling nyata, oleh karena itu zat yang sifatnya paling umum tentu memiliki realitas yang paling tinggi dan zat yang demikian itu adalah alam semesta, alam semesta keseluruhan realita, hakekat alam adalah satu, esa “.
George Friderich Hegel (1770 – 1831) adalah tokoh besar filsafat modern; ajarannya, terkenal sebagai idealisme murni.
”Hegel mengajarkan bahwa alam semesta dan peradaban berkembang dalam asas dan pola dasar dialektika: thesis; melahirkan antithesis; dan berkembang sebagai sinthesis….. berpuncak dalam kesempurnaan semesta, dalam makna sebagai ciptaan Yang Maha Sempurna (Tuhan). Karenanya, filsafat Hegel dianggap bersifat theokratis (theokratisme)”.
Landasan Hukum
Nilai-nilai filsafat kuna sampai filsafat abad petengahan, Pancasila, pasal yang terkandung didalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapam MPR yang berkaitan dengan filsafat hukum Pancasila, dimana tantangan dan ancaman ini dihadapi oleh MPR RI dalam menegakkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan UU RI No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (terutama pasal 107a – 107f).
Metode Penelitian
Didalam penulisan makalah ini, penulis hanya menggunakan data primair yang terdiri dari bahan-bahan Pengetahuan lapangan yaitu data-data kepustakan filsafat hukum, serta bahan Pengetahuan Hukum primair yaitu produk-produk hukum undang-undang dan Ketetapan MPR yang terkait dengan filsafat hukum sera bahan-bahan/artikel di internet : www. yahoo.com, www.google.com dan media cetak lainya yang berkaitan dengan judul makalah penulis.
Perumusan Masalah
Terdapat permasalahan pada pemahaman filsafat hukum Pancasila  yaitu  :
-    Mengapa pemahaman moral dari setiap warga negara yang tidak konsisten terhadap falsafat negara yaitu Pancasila, yang mengakibatkan seringnya terjadi pelanggaran terhadap hukum yang dapat merugikan orang lain maupun negara ?
Asumsi
Asumsi sementara dari penulisan  adalah  sebagai berikut :
-    Pelanggaran terhadap hukum yang sering terjadi adalah disebabakan kurangnya atau semakin pudarnya tingkat pemahaman terhadap nilai-nilai luhur dari Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, yang mengakibatkan moral dari pelaku pelanggaran terhadap hukum tersebut semakin bertambah atau mungkin karena prodak hukum yang diberlakukan mengadung unsur-unsur politis saja, yang mengakibatkan tingkat penjenjeraan pada para pelaku elanggaran hukum tersebut semakin banyak.
Pengertian Filsafat
Pengertian Filsafat adalah berasal dari kata Yunani yaitu Filosofia berasal dari kata kerja Filosofein artinya mencintai kebijaksanaan, akan tetapi belum menampakkan hakekat yang sebenarnya adalah himbauan kepada kebijaksanaan. Dengan demikian seorang filsuf adalah orang yang sedang mencari kebijaksanaan, sedangkan pengertian “ orang bijak” (di Timur) seperti di India, cina kuno adalah orang bijak, yang telah tahu arti tahu yang sedalam-dalamnya(ajaran kebatinan), orang bijak/filsuf adalah orang yang sedang berusaha mendapatkan kebijaksanaan atau kebenaran, yang mana kebenaran tersebut tidak mungkin ditemukan oleh satu orang saja.
Difinisi bermacam-macam, terdapat satu difinisi filsafat yaitu “Usaha manusia dengan akalnya untuk memperoleh suatu pandangan dunia dan hidup yang memuaskan hati” ( difinisi ini sepanjang abad). Pertama-tama  difinisi tersebut diatas adalah  terdapat kata-kata “ Dengan akalnya” mendapat tekanan artinya tidak dapat disangkal, bahwa semua orang, melalui agama masing-masing, telah memiliki suatu pandangan dunia dan hidup. Dari mana asal dunia dan manusia serta hidupnya, bagaimana manusia harus hidup didalam dunia ini, semuanya itu telah diajarkan oleh agama, baik oleh agama-agama dunia yang besar maupun agama-agama suku yaitu dengan melalui wahyu. Bahwa difinisi tersebut diatas adalah menerima pandangan dunia dan hidup orang lain, jika hal tersebut memuaskan dirinya, jika tidak memuaskan ia akan berusaha terus, mengoreksi pandangan orang lain dan seterusnya.
Yang melatar belakangi filsafat kuna adalah rasa keingin tahuan dari manusia dan rasa keingin tahuan manusia dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak/ susah untuk mencari jawabannya. Akan tetapi akal manusia tidak puas dengan keterangan dongeng atau mite-mite dan mulai manusia mencari-cari dengan akalnya dari mana asal alam semesta yang menakjubkan itu. Dan kemenangan serta jawaban tersebut diperoleh secara berangsur-angsur, berjalan hingga berabad-abad lamanya.  Berawal dari mite bahwa pelangi atau bianglala adalah tempat para bidadari turun dari surge, mite ini disanggah oleh Xenophanes bahwa :”pelangi adalah awan” dan pendapat Anaxagoras bahwa pelangi adalah pemantulan matahari pada awan ( pendapat ini adalah pendapat pemikir yang menggunakan akal). Dimana pendekatan yang rasional demikian menghasilkan suatu pendapat yang dapat dikontrol, dapat diteli akal dan dapat diperdebatkan kebenarannya.
Para pemikir filsafat yang pertama hidup dimiletos kira-kira pada abad ke 6 SM, dimana pada abad tersebut tentang pemikiran mereka disimpulkan dari potongan-potongan, yang diberitakan kepada manusia dikemudian hari atau zaman. Dan dapat dikatakan bahwa mereka adalah filsafat alam artinya para ahli fikir yang menjadikan alam yang luas dan penuh keselarasan yang menjadi sasaran para ahli filsafat tersebut (objek pemikirannya adalah alam semesta). Tokoh pertamanya yang melakukan penyelidikan adalah Thales (+ 625 -545 SM) dikuti dengan tokoh kedua  yaitu Anaximandros ( + 610-540 SM) dan ada juga tokoh lain yang bernama Pythagoras (+ 580 – 500SM), Xenophanesa (+ 570-430SM), Herakleitosa (+ 540-475SM), Parmenidesa (+540-475SM), Zeno (490 SM), Empedoklis (492-432 SM), Empedokles (492-432 SM), Anaxagoras (499-420 SM) dan yang terakhir adalah Leukippos dan Demokritos, keduanya yang mengajarkan tentang atom. Akan tetapi yang paling dikenal adalah Demokritos (+ 460-370 SM) sebagai Filsuf Atomik.
Sejarah Filsafat Kuna.
Para ahli filsafat tersebut diatas adalah sebagai pintu pemikiran tentang filsafat yang mengenai alam semesta.
1. Filsafat Pra Sokrates adalah filsafat yang dilahirkan karena kemenangan akal atas dongeng atau mite-mite yang diterima dari agama, yang memberitahukan tentang asal muasal segala sesuatu. Baik dunia maupun manusia, para pemikir atau ahli filsafat yang disebut orang bijak, yang mencari-cari jawabannya sebagai akibat terjadinya alam semesta beserta isinya tersebut. Sedangkan arti filsafat itu sendiri berasal dari bahasa yunani yaitu  Filosofia artinya bijaksana/pemikir yang menyelidiki tentang kebenaran-kebenaran yang sebenarnya untuk menyangkal dongeng-dongeng atau mite-mite yang diterima dari agama. Pemikiran filsuf inilah yang memberikan asal muasal segala sesuatu, baik dunia maupun manusia, yang menyebakan akal manusia tidak puas dengan keterangan dongeng atau mite-mite tersebut dengan dimulai oleh akal manusia untuk mencari-cari dengan akalnya, dari mana asal alam semesta yang menakjubkan itu.
Mite-mite tentang pelangi atau bianglala adalah tempat para bidadari turun dari surge, mite ini disanggah oleh Xenophanes bahwa :” pelangi adalah awan” dan pendapat Anaxagoras bahwa pelangi adalah pemantulan matahari pada awan ( pendapat ini adalah pendapat pemikir yang menggunakan akal). Dimana pendekatan yang rasional demikian menghasilkan suatu pendapat yang dapat dikontrol, dapat diteli akal dan dapat diperdebatkan kebenarannya.
Para pemikir filsafat yang pertama hidup dimiletos kira-kira pada abad ke 6 SM, dimana pada abad tersebut tentang pemikiran mereka disimpulkan dari potongan-potongan, yang diberitakan kepada manusia dikemudian hari atau zaman. Dan dapat dikatakan bahwa nereka adalah filsafat alam artinya para ahli fikir yang menjadikan alam yang luas dan penuh keselarasan yang menjadi sasaran para ahli filsafat tersebut (objek pemikirannya adalah alam semesta).
2.    Filsafat Sokrates, Plato dan Aristoteles
  • Sokrates :
  • Sokrates hidup pada tahun  kurang lebih tahun 469 – 399 SM dan Demokritos pada tahun + 460 – 370 SM yang kedua hidup sejaman dengan Zeno yang dilahirkan pada tahun +  490 SM dan lain-lainnya, serta disebut sebagai filsuf Pra Sokrates, dimana filsafat mereka tidak dipengaruhi oleh Sikrates. Harus diketahui bahwa kaum sofis hidup bersama-sama denga skrates. Diman hidup sokrates dan kaum sofis susah dipisahkan dan menurut Cicero, difinisi Sokrates adalah memindahkan filsafat  dari langi dan bumi artinya sasaran yang diselidikinya bukan jagat raya  melainkan manusia, dan bertujuan  menjadikan manusia menjadikan sasaran pemikiran filsuf tersebut.( pemikiran sokrates adalah menjadi kritik kepada kaum sofis).
  • Sofis sebenarnya bukan suatu maszab melainakn suatu aliran yang bergerak dibidang intelek, karena istilah sofis yang berarti sarjana, cendikiawan seperi Pythagoras dan Plato disebut kaum sofis. Yang pada abad ke 4 para sarjana atau cendikiawan tidak lagi disebut Sofis melainkan menjadi Filosofos, Filsuf dan sebutan sofis dikenakan kepada para guru yang berkeliling dari kota kekota dan kaum sofis tidak menjadi harum lagi, karena sebutan sofis menjadi  sebutan orang yang menipu orang lain/penipu karena para guru keliling tersebut dituduh sebagai orang yang meminta uang bagi ajaran mereka. Akan tetapi pada masa Pemerintahan Perikles (Athena) kaum sofis menjadi harum.
  • Protagoras (+ 480-411) memberi pelajaran di Athena dan inti sari filsafatnya adalah bahwa manusia menjadi ukuran bagi segala sesuatu, bagi segala hal yang ada dan yang tidak ada. Dan menurutnya Negara didirikan oleh manusia, bukan karena hokum alam. Protagoras meragukan adanya dunia dewa, oleh karenanya dia disebut orang munafik.
  • Sokrates memungut biaya pengajaran dengan tujuan untuk mendorong orang supay mengetahui dan menyadari sendiri dan dia juga menentang relativisme kaum sofis, karena dia yakin bahwa kebenaran yang obyektif. Mengenai pemberitaannya yang dipandang sebagai pemberitaan yang lebih dapat dipercaya adalah pemberitaan Plato dan Aristotele. Sokrates melahirkan bermacam-macam orang atau ahli Politik, Pejabat, tukang dan lain-lainya, dengan mencapai tujuan yaitu membuka kedok segala peraturan atau hokum yang semu, sehingga tampak sifatnya yang semu dan mengajak orang melancak atau menelusuri sumber-sumber hukum yang sejati (Dengan Hipotese). Dan menurut sokrates bahwa alat untuk mencapai eudemonia atau kebahagiaan adalah kebajikan atau keutamaan (arête), akan tetapi kebajikan atau keutamaan tidak diartikan sacara moral. Sokrates terkenal dengan : Keutamaan adalah pengetahuan” yaitu Keutamaan dibidang hidup baik tentu menjadi orang dapat hidup baik.
  • Antisthenes adalah mengajar setelah kematian sokrates di gymnasium Kunosargos di Athena (kunos = anjing) dan menaruh perhatian kepada etika. Dan menurutnya manusia harus melepaskan diri dari segala sesuatu dan harus senantiasa puas terhadap dirinya sendiri. Azasnya adalah bebas secara mutlak terhadap semua anggapan orang banyak dan hukum-hukum mereka.
  • Aristippos dari Kirene, pandangannya kebalikan dari Antishenes, dimana satu-satu tujuannya perbuatan adalah kenikmatan (hedone), sekalipun demikian tugas orang bijak bukan untuk dikuasai oleh kenikmatan melainkan untuk menguasainya. Dengan demikian zaman sokrates adalah zaman yang sangat penting sekali, karena merupakan zaman mewujudkan zaman penghubung, yang menghubungkan pemikiran pra sokrates dan pemikiran Helenis. Misalnya Aristippos menggabungkan diri dengan Demokritos, Antishenes menggabungkan diri dengan Herakleitos dan kemudian ajaran ini timbul dalam bentuk lunak yaitu aliran Stoa.
  • Plato :
  • Adalah filsuf yunani petama yang berdasarkan karya-karyanya yang utuh. Dilahirkan dari keluarga terkemuka dari kalangan politisi, semula ingin bekerja sebagai seorang politikus, karena kematian Sokrates (muridnya selama 8 tahun), plato memendamkan ambisinya tersebut.
  • Kemudian Plato mendirikan sekolah akademi (dekat kuil Akademos) dengan maksud untuk memberikan pendidikan yang instensip dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Bahwa pembagian yang didasrkan atas patokan lahiriah, dalam 5 kelompok yaitu karyanya ketika masih muda, karyanya pada tahap peralihan, karyanya mengenai idea-idea, karyanya pada tahap kritis dan karyanya pada masa tuannya, yang diantara buku-buknya adalah Aspologia, Politeia, Sophistes, Timaios.(plato dapat dipandang sebagai monument atau tugu peringatan bagi sokrates.
  • Plato yakin bahwa disanping hal-hal beraneka ragam dan yang dikuasai oleh gerak serta perubahan-perubahan itu tentu ada yang tetap, yang tidak berubah. Menurut plato tidak mungkin seandainya yang satu mengucilkan yang lain artinya bahwa mengakui yang satu, harus menolak yang lain dan juga tidak mungkin kedua-duanya berdiri-sendiri, yang satu lepas daripada yang lain.Plato inin mempertahankan keduanya, memberi hak berada bagi keduanya.
  • Pemecahan palto bahwa yang seba berubah itu dikenal oleh pengamatan dan yang tidak berubah dikenal oleh akal. Demikianlah palto berhasil menjembatani pertentangan yang ada antara Herakleitos, yang menyangkal tiap perhentian dan Parmenides yang menyangkal tiap gerak dan perubahan.Yang tetap tidak berubah dan yang kekal itu oleh plato disebut “ Idea”.
  • Perbedaan antara sokrates dengan plato adalah dimana Sokrates mengusahakan adanya difinisi tentang hal yang bersifat umum guna menetukan hakekat atau esensi segala sesuatu, karena tidak puas dengan mengetahui, hanya tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan sutu persatu, sedangkan Plato meneruskan usaha itu secara lebih maju lagi dengan mengemukakan, bahwa hakekat atau esensi segala sesuatu bukan hanya sebutan saja, tetapi memiliki kenyataan, yang lepas daripada sesuatu yang berada secara kongkrit yang disebut “Idea”, dimana Idea itu nyata ada, didalam dunia idea (hanya satu yang bersifat kekal).
  • Pada akhirnya Plato menekankan kepada kebenaran yang diluar dunia ini, hal itu tidak berarti bahwa ia bermaksud melarikan diri dari dunia. Dunia yang kongrit ini dianggap penting, hanya saja hal yang sempurna tidak dapat dicapai didalam dunia ini. Namun kita harus berusaha hidup sesempurna mungkin, yang tampak dalam ajarannya tentang Negara yang adalah puncak filsafat Plato.
  • Menurut Plato, golongan  didalam Negara yang idea harus terdiri dari 3 bagian yaitu : a.Golongan yang tertinggi terdiri dari para yang memerintah (orang bijak/filsuf), b.Golongan pembantu yaitu para prajurit yang bertujuan menjamin keamanan, c. Golongan terendah yaitu rakyat biasa, para petani dan tukang serta para pedagang yang menanggung hidup ekonomi Negara.
  • Aristoteles :
  • Dilahirkan di Stagerira Yunani utara anak seorang dokterpribadi raja Makedonia dan pada umur kira-kira 18 tahun dikirim ke Athena untuk belajar kepada Plato. Dan setelah Plato meninggal Aristoteles mendirikan sekolah di Assos( Asia Kecil) pada tahun 342 SM kembali ke Makedonia untuk menjadi pendidik Aleksander yang agung.
  • Ketika Aleksandra meninggal pada tahun 322 SM, Aristoteles dituduh sebagai mendurhaka dan lari ke Khalkes sampai meninggal. Karyanya banyak sekali akan tetapi sulit menyusun secara sistematis, ada yang membagi-bagikannya, ada yang membagi atas 8 bagian yang mengenai Logika, Filsafat alam, psikologis, biologi, metafisika, etika, politik dan ekonomi, dan akhirnya retorika dan poetika.
  • Bukan saja pengertian-pengertian, akan tetapi pertimbangan-pertimbangan dapat digabungkan-gabungkan, sehingga menghasilkan penyimpulan. Penyimpulan adalah suatu penalaran dengannya dari dua pertimbangan dilahirkan pertimbangan yang ketiga, yang baru yang berbeda dengan kedua pertimbangan yang mendahuluinya. Umpamanya manusia adalah fana, gayus adalah manusia, jadi gayus adalah fana.
  • Cara menyimpulkan ini disebut syllogisme (uraian penutup), suatu syllogisme terdiri dari tiga bagian yaitu suatu dalil umum, yang disebut mayor (manusia adalah fana), suatu dalil khusus, yang disebut minor (Gayus adalah manusia) dan kesimpulannya (Gayus adalah fana), syllogisme mewujudkan puncak logika Aristoteles.
  • Para filsuf Elea (Parmenides, Zero) berpendapat bahwa gerak dan perubahan adalah hayalan. Dimana Aristoteles menentang dimana “Yang Ada” secara terwujud “yang ada” secara mutlak atau menjadi “ yang ada” secar terwujud, jikalau melalui sesuatu. Seperti dengan Plato, Aristoteles mengajarkan dua macam pengenalan yaitu pengenalan inderawi dan pengenalan rasional. Dan menurut Aristoteles, pengenalan inderawi memberikan pengetahuan tentang bentuk benda tanpa materinya. Sedangkan pengenalan rasional adalah pengenalan yang ada pada manusia tidak terbatas aktivitasnya, yang dapat mengetahui hakekat sesuatu, jenis sesuatu yang bersifat umum.
3.     Filsafat Helenisme dan Romawi
  • Helenisme berasal dari bahasa yunani yaitu Hellenizein adalah roh dan kebudayaan yunani, yang sepanjang roh dan kebudayaan itu memberikan cirri-cirinya kepada para bangsa yang bukan yunani disekitar laut tengah, mengadakan perubahan dibidang kesusasteraan, agama dan keadaan bangsa-bangsa itu.
  • Pada zaman ini ini ada perpindahan filsafat yaitu dari filsafat yang teoritis menjadi filsafat yang praktis, yang makin lama menjadi suatu seni. Dimana orang bijak adalah orang yang mengatur hidupnya menurut akal dan rasionya. Yang termasuk aliran yang bersifat etis adalah aliran Epikuros dan Stoa, sedangkan yang lainnya diwarnai oleh agama diantaranya Filsafat Neopythagoris, filsafat Plattonis Tengah, filsafat Yahudi dan Neoplatonisme.
  • Epikuros (341-271SM) dilahirkan di Samos mendapat pendidikan di Athena, dan filsafat yang mempengaruhi pikirannya adalah Demokritos,  2. Stoa didirikan oleh Zeno dari Citium disiprus (336-264SM) dan Zeno mengajarkan  ajarannya di gang diantara tiang-tiang (Stoa poikila) sebutan Stoa diturunkan daripada Stoa Poikila, 3. Skeptisisme dimana aliran yang menonjol adalah aliran Pyrrho dari Elis ( 360-270SM) yang berpangkal kepada realitivisme.  Pengamatan memberikan pengetahuan yang sifatnya realtif, dimana manusi sering keliru melihat dan mendengar, seandainya pengalaman manusi benar, kebenaran itu hanya berlaku bagi hal-hal yang lahiriah  saja, bukan bagi hakekatnya, 4.Filsafat Platonis Tengah adalah factor agama mengambil tempat yang penting sekali (kira-kira 117 M) dan Noumenios (akhir abad ke 2 M). Ajarannya adalah Yang ilahi berada jauh lebih tinggi daripada yang bendawi.Hakekatnya tidak dapat dikenal, namanya tidak dapat diucapkan, sifat-sifatnya, tidak dapat dimengerti. Diantara yang ilahi dan dunia ini terdsapat tokoh-tokoh setengah dewa, para demon, yang mempengaruhi jalannya segala sesuatu didunia ini, 5. Filsafat Yahudi yaitu diantara bangsa yahuni yang tersebar diluar tanah Palestina yaitu asia kecil, yunani, mesir dan disekitar laut tengah. Dimesir pusat pemukiman Yahudi dikota Aleksandra (kira abad ke 2 SM) orang yahudi dimesir ada 3 kelompok yaitu : a. Mereka yang setia pada ajaran nenek moyang dengan mengharapkan Mesias,b. mereka yang jatuh kepada aliran ortodoks seperti yang dipeluk oleh kaum Parisi dan 3. mereka yang mencoba mencampur agama yahudi dengan filsafat Helenis.Membicarakan Philo dilahirkan di Alexsandra dari keluarga imam adalah menyesuaikan agama yahudi dengan Helenisme. Agama yahudi diseintesekan dengan filsafat yunani, menurutnya kitab perjanjian lama (kitab agama yahudi bahkan juga terjemahan didalam bahasa yunani (y.i.Kitab Septuaginta) diwahyukan oleh Allah dengan para nabi sebagai alat-alatnya, 6. Neoplatonisme pada akhir dunia kuna kira-kira 5 abad sesudah Aristoteles, system ini dibentuk pada abad kedua masehi  dan bertahan sampai pada abad ke 6 M.. Dapat dipandang sebagai usaha terakhir roh Yunani untuk menentang agama Kristen yang sedang tumbuh. Yang ingin menghidupkan ajaran Plato demi keselamatan dunia, dengan memperkaya segala yang terbaik dari segala  sistim yang kemudian, disesuaikan dengan kebutuhan zaman, dimana unsur-unsur yang dimasukan adalah ajaran plato, Aristoteles, Stoa dan Philo. Pendiri Neoplatonisme adalah Ammonius Sakkas dari Aleksandra(175-242), akan tetapi ajaran ini tidak diketahui karena tidak meninggalkan tulisan apapun. Sedangkan penciptanya adalah Plotinos murid Ammorius.
4.     Filsafat Patristik
  • Berasal dari kata latin yaitu Pater = bapa yang dimaksud adalah para bapa gereja).Zaman meliputi zaman para rasul (abad pertama) mengambil sikap yang bermacam-macam. Ada yang menolak filsafat yunani, karena dipandang sebagai hasil pemikiran manusia semata-mata, akan tetapi ada juga yang menerima filsafat yunani, karena perkembangan pemikiran yunani itu dipandang sebagai persiapan bagi injil. (keduanya tetap menggema di zaman pertengahan).
  • Patristik Barat.
  • Terdapat dua macam sikap terhadap filsafat yaitu aliran yang menolak filsafat dan yang menerimanya.
  • -    Tertullianus (160-222),  adalah menghasilkan karya yang ortodok Nampak dia menolak filsafat. Bagi orang Kristen wahyu sudah cukup, tiada hubungannya antara telogia dengan filsafat, antara Yerusalem dengan Athena, antara gerja dengan akademi, antara Kristen dengan bidat.
  • -    Aurelius Augustinus (354-430) dilahirkan di Thagaste di Numedia, ayahnya adalah seorang bukan Kristen dan semasa hidupnya dia menuruti hawa nafsu, diombang-ambingkan dari Manikheisme kedalam Skeptisisme dan Neoplatonisme yang akhirnya bertobat. Karena kesalehan dan kecakapannya diangkat menjadi uskup di Hippo (392) dan membentuk “Filsafat Kristen” berpengaruh pada abat pertengahan. Ajaran yang terpenting adalah Confessiones (Pengakuan-pengakuan), De Trinitate (tentang Trinitas) dan De Civiate Dei( tentang Negara Allah). Aliran ini adalah dibidang Teologis dan Filsafat, pemikirannya bersifat filsafati semata-mata.(dia menetang aliran Skeptisisme, karena Skeptisisme disebabkan karena adanya pertentangan batiniah).
  • -    Dionisios dari Areopagos, artinya Dionisios adalah bertobat karena pemberitaan rasul Paulus di Areopagos (kisah rasul 17:34), karyanya disebut Pseudo Dioysios Areopagita (abad ke 6 ada 4 buku dan 10 surat yang dikaitkan dengan nama tersebut). Yang menguraikan teologi kristiani, yang mengenal Neoplatonisme dan menurutnya Allah adalah asal segala yang ada, yang keadaannya transenden secara mutlak, sehingga tidak mungkin memikirkan tentang Dia dengan cara yang benar, dan memberikan kepadaNya nama yang tepat.
  • C.    Sejarah Filsafat Abad Pertengahan.
  • Filsafat pada abad pertengahan adalah suatu arah pemikiran yang berbeda sekali dengan pemikiran dunia kuna, yaitu filsafat yang menggambarkan suatu zaman yang baru sekali ditengah-tengah suatu rumpun bangsa baru, bangsa eropa barat(disebut filsafat Skolastik).
  • Sebagian soklastik mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan abad pertengahan diusahakan disekolah-sekolah dan ilmu terikat pada tuntutan pengajaran disekolah-sekolah. Skolastik timbul di dibiara di Ballia Selatan tempat pengungsian  ketika ada perpindahan bangsa-bangsa. Pengaruh skolastik sampai ke Irlandia, Nederland dan Jerman dan kemudian timbul disekolah kapittel yaitu sekolah yang dikaitkan dengan geraja.
  • Pelajaran sekolah meliputi tujuh kesenian bebas(Artes Liberales) yang dibagi menjadi 2 bagian yaitu Trivium, 3 matapelajaran bahasa, 4 mata pelajaran matematika, yang meliputi ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu perbintangan dan music, yang dimaksud bagi mereka ingin belajar lebih tinggi teologia) atau ingin menjadi sarjana.
  1. Awal Skolastik : Johanes Scotus Eriugena (810-870) dari irlandia adalah seorang yang ajaib yang menguasai bahasa yunani dengan amat baik pada zaman itu dan menyusun suatu sistim filsafat yang teratur serta mendalam pada zaman ketika orang masih berfikir hany dengan mengumpulkan pendapat-pendapat orang lain, masih dikenal pula tokoh-tokoh lain yaitu Augustinus dan Dionisios dan Areopagos. Pangkal pemikiran metafisis adalah, makin umum sifat sesuatu, makin nytalah sesuatu itu, yang paling bersifat umum itulah yang paling nyata.Oleh karena itu zat yang sifatnya paling umum tentu memiliki realitas yang paling tinggi. Zat yang demikian adalah alam semesta, alam adalah keseluruhan realita dan oleh karena hakekat alam adalah satu,esa. Alam yang esa.Pada abad ke 12, dimana persoalan-persoalan yang timbul pada abad ke 11 tetap diteruskan pada abad ke 12 yaitu suatu usaha untuk mendapatkan suatu arah yang tetap, dengan dimungkinkan adanya suatu penelitian  yang lebih mendalam tentang universalia dan akal. Anselmus dari Canterbury memberikan jawaban, yang ternyata telah memberi arah kepada pemikiran filsafat selama dari 150 tahun. Sedangkan pada persoalan kedua yaitu Universalia Abaelardus memberikan jawaban yang dalam pokoknya diambil alih oleh semua tokoh Skolastik.
  • Anselmus dari Canterbury(1033-1109) dilahirkan di Aosta,Piemont, yang kemudian menjadi uskup di Canterbury,  pola-pola pemikiran berasal dari pemikir Skolastik, bahwa skolatikus pertama dalam arti yang sebenarnya. Karya yang penting adalah” Cur dues homo” (mengapa Allah menjadi manusia), Manologion, Proslogion. Pemikiran dialektika atau pemikiran dengan akal diterima sepenuhnya bagi pemikir teologia, akan tetapi bukan dalam arti bahwa hanya akalah yang dapat memimpin orang kepada kepercayaan melainkan bahwa orang harus percaya dahulu supaya dapat mendapatkan pengertian yang  benar akan kebenaran. Nisbah antara iman dan pengetahuan dengan akal dirumuskan demikian “ fides quaerens intelligam “ (iman berusaha untuk mengerti). Jadi pangkal pemikirannya sama dengan Augustinus dan Johanes Scotus Eriugema yaitu bahwa keberatan-keberatan yang diwahyukan harus dipercaya terlebih dahulu, sebab akal tidak memiliki kekuatan pada dirinya sendiri, guna menyelidiki kebenaran-kebenaran yang termasuk wahyu.
  • Petrus Abaelardus (1079-1142) dilahirkan di Le Pallet dekat nantes, pandangannya tajam sekali dank arena wataknya yang keras sering bentrok dengan para ahli piker dan para pejabat gerejani. Jasa-jasanya terletak dalam pembaharuan metode pemikiran dan dalam memikirkan lebih lanjut persoalan-persoalan dialektis yang actual. Metode yang dipakai adalah rasionalistis, yang menundukkan iman kepada akal.Iman harus mau diawasi oleh akal. Yang wajib dipercaya adala apa yang telah disetujui akal dan telah diterima olehnya.
  • Zaman Kejayaan Skolastik. (abad ke 12).Dalam abad ini ilmu pengetahuan berkembang, hingga timbul harapan-harapan baru bagi masa depan yang cerah. Metode yang dipakai Abaelardus ternyata membuka perspektif  yang tidak terduga bagi filsafat dan ilmu teologia dan membangkitkan studi dalam ilmu kemanusia dan ilmu alam.
D.    Macam-Macam Aliran Filsafat.
Aliran filsafat Ini terlihat dengan jelas dari beberapa zaman para ahli filsafat ini yaitu seperti :
  1. Aliran filsafat Kuna yang terdiri dari beberapa maszab seperti 1. Filsafat Pra Sokrates, 2. Filsafat Sokrates, Plato dan Aristoteles aliran ini dibagai lagi menjadi a.Kaum Sofis dan Sokrates, b.Plato dan c. Aristoteles, 3. Filsafat Helenisme dan Romawi dan 4. Filsafat Patristik yaitu : a. Patristik Timur dan b. Patristik Barat.
  2. Aliran Filsafat Abad Pertengahan yang terdiri dari a. Aliran Awal Skolastik, b. Aliran Zaman Kejayaan Skolastik dan c. Akhir Skolastik.
  3. Aliran Filsafat Modern Dalam Pembentukannya. Yang terdiri dari :
  4. Renaissance, 2. Filsafat Dalam Abad ke 17 : a.  Rasionalisme, Rene Descartes, Blaise Pascal dan Baruch Spinoza, b.    Empirisme, Thomas Hobbes,   John Locke,  c.    Filsafat di Jerman, G.W Leibbniz, Chistian Wolff dan 3.    Filsafat Abad ke 18 : a.Pencerahan ( Aufklarung), b. Pencerahan di Inggris  : George Berkeley, David Hume,c.    Pencerahan di Prancis : Voltaire, Jean Jacques Rousseau dan d.    Pencerahan di Jerman : Immanuel Kant.
Aliran Filsafat Abad ke 19 dan abad ke 20.
adalah 1.filsafat Abad ke 19 : a. Idealisme di Jerman : J.C.Fichte, FWI.Schelling, GWF.Hegel, Arthur Schopenhauer, b. Positivisme : August Comte, John Stuar Mill, Herbert Spencer dan c. Kemunduran Filsafat Hegel dan Timbulnya Materialisme di Jerman : Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche. 2. Aliran Filsafat Abad ke 20 :  a. Pramatisme : William James, John Dewey, b. Filsafat hidup : Henri Bergonm, c. Fenomenologi : Edmund Husserl, Max Scheler, d. Eksistensialisme : Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers, Gabriel Marcel.
Dimana filsafat tersebut berkembang terus sampai mempunai cabang-cabang Ilmu Pengetahuan yang salah satunya filsafat hukum dalam hal ini adalah filsafat hukum yang terkandung didalam nilai-nilai luhur dari Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
A.    Ilmu Hukum Indonesia
Ilmu hukum Indonesia yang dibangun dari teori hukum Indonesia dan filsafat hukum Indonesia jika ditopang dari bangunan kefilsafatan ilmu, maka memiliki landasan ontologis dualisme  (materialisme dan spiritualisme sekaligus), landasan epistimologi rasionalisme,  empirisme dan wahyu sekaligus, serta landasan aksiologi nilai moral atau etika dan bahkan nilai keagamaan yang sakral. Manusia yang hidup didalam masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan, yang tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana seharusnnya manusia itu betingkah laku dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman tersebut merupakan patokan atau ukuran berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama yang kemudian disebut kaidah sosial, yang pada hakekatnya merupakan rumusan pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnnya dilakukan atau tidak, yang dianjurkan maupun yang dilarang untuk dijalankan. Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan maupun konflik kepentingan manusia, sehingga diharap manusia dapat terlindungi kepentingan- kepentingannya.  Kaidah keagamaan  ditujukan kepada kehidupan beriman manusia terhadap kewajibannya terhadap tuhan dan dirinya sendiri. Sumbernya adalah ajaran-ajaran agama yang oleh pengikutnya dianggap sebagai perintah tuhan sehingga sanksinya pun berasal dari tuhan.  Kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu yang bersangkutan dengan kehidupan pribadinya, terutama mengenai nurani individu manusia tersebut dan bukan sebagai mahluk sosial atau sebagai anggota masyarakat. Fungsinya untuk melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah kegelisahan diri sendiri dengan tujuan agar terbentuk kebaikan ahlak pribadi manusia serta menyempurnakannya agar tidak berbuat jahat. Kaidah kesopanan didasarkan pada kebiasaan kepatutan atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Ditujukan terhadap sikap lahir pelakunya yang konkrit demi penyempurnaan/ketertiban masyarakat dan bertujuan menciptakan perdamaian, tata tertib atau membuat sedap lalu lintas antar manusia yang bersifat lahiriah dengan mementingkan yang lahir atau yang formal. Sanksinya bersifat tak resmi dari masyarakat yang berupa celaan atau cemoohan.  Ketiga kaidah sosial tersebut dirasakan kurang memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia sehingga manusia berharap kepada kaidah hukum untuk dapat melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingannya. Kaidah hukum lebih ditujukan kepada sikap lahir manusia dan bukan sikap batinnya. Pada hakekatnya apa yang dibatin, yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal asalkan secara lahiriah tidak melanggar kaidah hukum. Asal kaidah hukum dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan (heteronom) dan masyarakat secara resmi diberi kuasa untuk menjatuhkan sanksi melalui alat-alat negara.2  Jika kaidah keagamaan, kesusilaan dan kesopanan hanya memberikan kewajiban-kewajiban (normatif) saja maka kaidah hukum selain membebani kewajiban-kewajiban juga memberikan hak-hak (atributif). Menurut Satjipto Raharjo (2000: 17) kaidah hukum merupakan resultan dari tegangan antara norma kesusilaan dengan norma kebiasaan. Norma kesusilaan bersifat  ideal sedangkan norma kebiasaan bersifat  empirik dan norma hukum berada diantara keduanya.
Hukum sebagai disiplin ilmu mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma yang menghasilkan ilmu tentang kaidah hukum (norm wissenschaft), terhadap pengertian-pengertian dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang pengertian hukum (begriffen wissenschaft), dan terhadap kenyataan-kenyataan dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang kenyataan hukum (sein wissenschaft).   Bedasarkan latar belakang masalah yang menunjukkan keterkaitan erat antara hukum dengan masyarakat beserta sistem nilainya yang berlaku dan mengingat pula hukum sebagai disiplin ilmu, maka yang menjadi permasalahn dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah  aspek ontologi  dari  bangunan  ilmu hukum,  terutama  dalam  konteks keindonesiaan dengan pluralisme hukumnya? bagaimanakah dengan aspek epistemologinya?  bagaimana  pula  dengan  aspek  aksiologinya,  terutama  dalam  menjawab  persoalan  euthanasia?
B.    Aspek Ontologis dari Ilmu Hukum
Disiplin ilmu hukum dalam mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma (norm wissenschaft), maka akan dapat dibedakan  antara kaidah dalam arti yang luas dengan asas-asas hukum dan norma (nilai) yang merupakan kaidah dalam arti yang sempit, serta  peraturan hukum kongkrit.. Kaidah dalam arti yang luas adalah rumusan pandangan masyarakat pada umumnya (bukan rumusan pandangan kelompok atau individu) tentang apa yang baik yang seharusnya diperbuat dan apa yang buruk yang seharusnya tidak diperbuat, sehingga berisi rumusan pandangan yang merupakan amar makruf nahi mungkar.
Asas-asas hukum  merupakan peraturan atau pedoman yang bersifat mendasar tentang bagaimana seharusnya orang berperilaku dan pedoman tersebut berupa pikiran dasar yang tersirat, berlaku umum, abstrak, mengenal pengecualian-pengecualian dan merupakan persangkaan (presumption) serta bersifat ideal mengingat manusia akan menemukan cita-citanya dengan asas hukum rersebut dan bersifat dinamis.  Norma atau kaidah dalam arti yang sempit adalah nilai yang dapat kita gali atau temukan dari peraturan hukum kongkrit, sedangkan peraturan hukum kongkrit sendiri  berupa pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan.. Sebagai contoh peraturan hukum kongkrit adalah Pasal 362 KUHP, maka asasnya adalah asas legalitas, norma atau nilai yang dapat kita gali adalah bahwa perbuatan mencuri itu merupakan perilaku yang buruk sehingga dilarang untuk dilakukan.  Sasaran studi ilmu hukum terhadap pengertian pengertian (begriffen wissenschaft) tidak diarahkan untuk mencari pengertian dari hukum itu sendiri, melainkan mencari pengertian-pengertian dari konsep-konsep yang terdapat dalam hukum baik itu konsep dasar (fundamental) maupun konsep-konsep operasional sebagai tindak lanjut dari konsep dasar. Misalnya saja tentang pengertian dari konsep peristiwa hukum, hubungan hukum, subyek hukum, manusia sebagai subyek hukum, badan hukum, hak dan kewajiban serta demikian seterusnya yang kemudian secara sistematik bangunan pengertian-pengertian tersebut akan membentuk ilmu hukum.  Sasaran studi ilmu hukum terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat (sein wissenschaft) akan melahirkan ilmu-ilmu hukum baru yang bersifat empirik yaitu sejarah hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa lampau), sosiologi hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa kini), antropologi hukum (terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat), psikologi hukum dan perbandingan hukum (bukan merupakan ilmu namun hanya sekedar memperbandingkan hukum yang masih berlaku dengan metodenya functional approach).  Selain kaidah sebagai sasaran studi ilmu hukum, sistem hukum dan penemuan hukum juga menjadi sasaran yang penting untuk dikaji (Hartono, 1989: 13-20). Sistem hukum adalah tatanan yang utuh yang didalamnya terdapat unsure-unsur pembentuk sistem yang masing-masing saling berinteraksi untuk mewujudkan tujuan dari sistem, serta tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi dalam diri sistem, namun jika terjadi konflik maka akan diatasi oleh dan didalam sistem hukum itu sendiri. Penemuan hukum adalah menemukan hukumnya atau peraturannya karena tidak jelas, tidak lengkap atau tidak ada. Ketidak jelasan peraturan akan digunakan metode  interpretasi atau penafsiran dengan jalan menafsirkan bagian peraturan yang tidak jelas (Loudoe; 1985: 124-125). Ketidaklengkapan atau ketiadaan peraturan hukum akan digunakan metode argumentasi baik argumentum peranalogiam maupun argumentum acontrario, serta metode konstruksi hukum (penyempitan maupun penghalusan hukum) serta metode fiksi hukum, yaitu apa yang ada dianggap tiada dan sebaliknya apa yang tiada dianggap ada (Scholten,  1992: 67).
C.     Masa Proklamasi Kemerdekaan
Proklamasi Kemerdekaan Negara RI yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah berhasil mendobrak sistem hukum kolonial dan menggantinya dengan sistem hukum nasional. Terlepas  pro dan kontra antara kubu yang berpendapat bahwa saat ini kita telah memiliki sistem hukum nasional sendiri dan kubu yang berpendapat bahwa kita belum memiliki sistem hukum nasional sendiri karena sistem hukum yang ada  ini masih merupakan warisan atau kelanjutan dari sistem hukum kolonial, maka penulis berpendapat bahwa sistem hukum itu bersifat historisch bestimmt (dinamis terkait dengan aspek-aspek kesejarahannya dan terikat dengan dimensi waktu dan tempatnya).  Kita tidak dapat membangun sistem hukum nasional yang sama sekali baru karena sistem hukum itu bersifat given dan sistem hukum nasional yang telah ada, yang merupakan kelanjutan dari sistem hukum kolonial secara step by step akan dilakukan perbaikan-perbaikan dan perobahan-perobahan serta penyempurnaan-penyempurnaan untuk diselaraskan dan diserasika dengan Grundnorm kita, karena semenjak kemerdekaan RI kita telah mempunyai Undang-Undang Dasar Negara sendiri yaitu UUD Negara RI Tahun 1945 yang di dalamnya memuat dasar Negara RI yaitu Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan dalam hirarki peraturan perundang-undangan Negara RI menempati kedudukan sebagai grundnorm. Demikian pula dalam operasionalisasi peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang masih berlaku karena ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945, terutama dalam pelaksanaannya di lembaga peradilan, hakim-hakim Indonesia telah menyesuaikan  peraturan-peraturan warisan kolonial  Belanda yang berjiwa materialistik, kapitalistik dan individualistik tersebut dengan Pancasila yang berjiwa monodualistik (asas keseimbangan).       Plularisme hukum sudah dikenal di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan dilegalkan dengan pasal 131 I.S. (Indische Statsregeling) yang berisi ketentuan bahwa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) berlaku 3 macam sistem hukum perdata yaitu: 1. Hukum perdata barat (Eropa), 2 Hukum pertdata Islam dan 3. Hukum perdata Adat. Saat ini di masa kemerdekaan plularisme hukum tersebut masih merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dan dalam pembangunan hukum sekarang yang bercorak modern melalui peraturan perundang-undangan hukum barat, hukum adat maupun hukum Islam saling berebut pengaruh untuk mewarnai pembangunan hukum nasional tersebut dalam berbagai bidang melalui proses legislasi nasional Hukum barat yang bercorak kapitalistik dan individualistik memiliki dasar  ontologis monisme yaitu materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada3yang beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi daripada roh/sukma/jiwa/spirit. 4
Hukum Islam yang memberikan kostribusi terhadap pembangunan hukum nasional bukanlah hukum Islam yang bersifat universal5 yang meliputi peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, melainkan sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang menjadi hukum yang hidup (living law) dan selebihnya seperti aturan-aturan yang menyangkut aspek peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat melainkan masih merupakan moral positif meskipun masyarakat telah menjalankan secara nyata dalam kehidupannya sehari-hari.
Dasar ontologis dari hukum Islam bersifat monisme yaitu idealisme atau spiritualisme, bahwa hakekat dari kenyataan yang ada yang beraneka ragam itu semua berasal dari roh/sukma/jiwa, yaitu sesuatu yang bersifat ghoib yang tidak berbentuk dan tidak menempati ruang serta kedudukan nilai roh adalah lebih tinggi daripada nilai benda/materi/badan.
Hukum adat yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan hukum nasional adalah hukum adat yang diketahui sepanjang masih merupakan hukum yang hidup(living law) dalam masyarakat dan yang masih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dasar ontologis dari hukum adat adalah bersifat dualisme bahkan pluralisme, apalagi  dengan mengingat sifat hukum adat itu yang magis religius. Hakikat dari kenyataan yang ada sumber asalinya berupa baik materi maupun rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri dan bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Hal tersebut berkaitan erat dengan banyaknya wilayah atau daerah hukum adat (Rechtskringen) di Indonesia dan bahkan menurut catatan Van Vollen Hoven terdapat 19 daerah hukum adat (Mertokusumo,  1999: 126), sehingga keberadaan hukum adat sendiri di Indonesia sudah bersifat pluralistik.
D.    Aspek Epistemologis dari Ilmu Hukum
Epistemologi adalah yang terkait dengan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan6 (Masruri dan Rosidy dalam Fadjar, 2007: 4) (Suriasumantri, 1990: 106). Ia membahas tentang sumber, sarana dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah, serta tolok ukur bagai sebuah kebenaran dan kenyataan ilmiah. Sarana ilmiah dalam epistemologi adalah akal atau akal budi, pengalaman atau kombinasi diantaranya, serta intuisi.   Dalam konteks keindonesiaan dengan plularisme hukumnya, aliran epistemologi yang dianut oleh hukum barat yang positivistik dan menitik beratkan pada peraturan perundang-undangan menurut hemat penulis adalah idealisme atau rasionalisme dengan menekankan peranan akal sebagai sumber pengetahuan. Aliran epistimologi yang dianut oleh hukum adat yang bersifat riil, terang atau jelas dan kontan, serta menitik beratkan pada kebiasaan atau perilaku masyarakat (die normatieve kraft des factischen demikian kata Jellineck), menurut hemat penulis adalah realisme atau empirisme dengan menekankan peranan indra dan pengalaman empirik (realitas) sebagai sumber pengetahuan. Adapun aliran epistemologi dari hukum Islam menurut hemat penulis tidak dapat dikatakan idealisme atau rasionalisme yang menekankan pada peranan akal. Demikian pula tidak dapat dikatakan realisme atau empirisme yang menekankan pada peranan indra dan pengalaman empirik (realitas), sebab Hukum Islam yang berasal dari Ajaran Agama Islam bersumberkan kepada wahyu sebagai sumber pengetahuan, baik yang didasarkan kepada kitab suci Al-Qur’an  yang berkedudukan sebagai wahyu primer maupun Al-hadist yang berkedudukan sebagai wahyu sekunder. Keduanya dalam agama Islam dikenal sebagai sumber hukum atau dalil Naqli.       Disamping itu hukum Islam juga mengakui peranan akal (al-ra’yu) sebagai sumber pengetahuan dan sekaligus sebagai sumber hukum yang dalam agama Islam disebut sebagai sumber hukum atau dalil Aqli, tetapi kedudukanya tergantung dari sumber hukum atau dalil aqli, yakni untuk menjelaskan sumber hukum Naqli tersebut apabila tidak ditemukan kejelasannya. Dengan catatan sumber hukum Aqli tersebut yang berupa ijma’ (kesepakatan para ulama) dan qias (analogi) tidak boleh menyimpang dari ketentuan  sumber hukum Naqli. Dan apabila dikaitkan dengan penggunaan indra atau pengalaman empirik (realitas) sebagai sumber pengetahuan dalam hukum Islam, maka menurut hemat penulis hal itu pun dijumpai seperti pada asas hukum (kaidah ushul fiqih) al-aadatu al- muhakkamah (kebiasaan atau adat yang melembaga). Ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia melalui sarana akal atau akal budi, indra atau pengalaman empirik (realitas) dan lain sebagainya, telah menghasilkan beberapa metode ilmu pengetahuan yaitu metode induksi, deduksi, positivisme, kontemplatif dan dialektika. Hukum sebagai ilmu pengetahuan dalam menyusun obyek atau bahan ilmunya ke dalam struktur ilmu hukum yang konstruktif dan sistematis, juga menggunakan metode-metode tersebut. Metode Induksi adalah metode berpikir dari yang khusus kepada yang umum, sedangkan metode deduksi bersifat sebaliknya, yaitu metode berpikir dari yang umum kepada yang khusus. Metode positivisme yang dipelopori oleh August Comte berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual dan positif serta menolak diluar yang positif termasuk metafisika. Sedangkan metode kontemplatif mengakui metode lain berupa intuisi dan perenungan mengingat keterbatasan indra dan akal. Apabila ditarik ke dalam dunia peradilan yang dikuasai oleh postulat keadilannya Aristoteles, bahwa peristiwa yang sama diperlakukan sama (analogi) dan peristiwa yang tidak sama tidak diperlakukan sama (a contrario), maka ada dua sistem untuk merealisir pokok pikiran tersebut yaitu sistem Anglo-Amerika dan Sistem Eropa Kontinental. Sistem Anglo-Amerika mengikat hakim pada precedent (The binding force of Precedent). Hakim Amerika akan berfikir secara induktif, yaitu berfikir dari yang khusus kepada yang umum/ilmu pasti. Penemukan peraturan yang dijadikan dasar putusannya dari deretan putusan-putusan sebelumnya (reasoning by analogy, reasoning from case to case). Sedangkan Sistem Eropa Kontinental bertujuan mewujudkan postulat kesamaan dengan mengikat hakim pada undang-undang, yaitu peraturan yang sifatnya umum yang menentukan agar sekelompok peristiwa tertentu yang sama diputus sama. Dalam hal ini hakim terikat pada jalan pikiran deduktif, yaitu berpikir dari yang umum kepada yang khusus. Ia harus mengkonkritisasi peraturan dan harus mengabstraksi peristiwa. Subsumpsie dan sillogisme atau dialektika merupakan ciri khas dari cara berfikir deduksi. Dalam sillogisme atau dialektika bunyi pasal undang-undang adalah premis mayor atau thesenya, fakta atau peristiwa atau kasus konkritnya adalah premis minor atau antithesenya dan bunyi putusan hakim adalah konklusi atau sinthesenya.  Dengan demikian sillogisme atau dialektika hanyalah memberi bentuk untuk membenarkan putusan, sedangkan untuk menemukan putusannya diperlukan analogi dan acontrario.7Dalam bagan siklus ilmu pengetahuan sebagaimana digambarkan oleh L. Wallace di dalam bukunya The Logic of Science in Sociology8, dikatakan bahwa ilmu pengetahuan selalu berkembang  karena dibantu oleh riset  yang dilakukan secara terus menerus. Riset atau penelitian tersebut memiliki dua ciri khas yaitu penggunaan logika dan pengamatan empirik. Penggunaan logika meliputi baik logika deduksi maupun induksi. Logika deduksi digunakan manakala hendak menyusun hipotesis, logika induksi digunakan manakala hendak melakukan genaralisasi empirik dengan melakukan abstraksi, sedangkan pengamatan empirik digunakan manakala hendak melakukan uji hipotesis dengan melakukan observasi di lapangan.
E.     Pancasila Sebagai Sistim Filsafat
Pancasila sebagai paham filsafat dalam kehidupannya manusia selalu menghadapi persoalan-persoalan pokok manusia yang meliputi : hubungan manusia dengan dirinya sendiri, orang lain atau sesama, alam sekitar, serta dengan Tuhan Sang penciptanya.
Sedangkan Pancasila sebagai Sistim Nilai yang pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek dan macam-macam nilai tersebut menurut Walter G. Everet adalah nilai-nilai manusiawi menjadi 8 kelompok, yaitu :
  1. Nilai ekonomis (ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli).
  2. Nilai kejasmanian (mengacu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan badan).
  3. Nilai hiburan ( nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbang pada pengayaan  kehidupan).
  4. Nilai sosial ( berasal mula dari berbagai bentuk perserikatan manusia).
  5. Nilai watak ( keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan).
  6. Nilai estetis ( nilai keindahan dalam alam dan dan karya seni).
  7. Nilai intelektual ( nilai-nilai pengetahuan dan pengejaran kebenaran).
  8. Nilai keagamaan (nilai-nilai yang ada dalam agama).
Sedangkan menurut notonagoro nilai tersebut dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang yang berguna bagi unsur jasmani manusia, 2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas dan 3.Nilai kerohanian, yaitu segala seuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Menurut dasar kaedah nilai-nilai pancasila bersifat objektif dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. 1. Rumusan dari sila-sila pancasila itu sebenarnya hakikat maknanya yang terdalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum universal dan abstrak,karena pada hakikatnya pancasila adalah nilai.
  2. 2. Inti nilai pancasila berlaku tidak terikat oleh ruang.
  3. 3. Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD’45, menurut ilmu hukum memenuhi syarat sebagi pokok kaidah negara yang fundamental, sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia.
  4. Pandangan berdasarkan Darmoduharjo nilai pancasila yang bersifat subjektif adalah 1. Nilai-nilai pancasila timbul dari bangsa indonesia sendiri, sehingga bangsa indonesia sebagai kuasa materialis, 2. Nilai pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia dan 3.Nilai pancasila merupakan nilai-nilai yang sesuai dengan hati nurani bangsa Indonesia.
Dimana bentuk dan susunan pancasila tersebut adalah 1. Pancasila sebagai suatu sistem nilai yang mempunyai ciri-ciri yaitu merupakan sebagai kesatuan yang utuh dari setiap unsur pembentuk pancasila merupakan unsur mutlak yang membentuk kesatuan, bukan unsur komplementer dan sebagai  satu kesatuan yang mutlak, tidak dapat ditambah atau dikurangi, dan 2. Susunan pancasila adlah susunan sila-sila pancasila merupakan kesatuan yang organis, satu sama lain membentuk suatu sistem yang disebut dengan istilah majemuk tunggal. Majemuk tunggal artinya pancasila terdiri dari 5 sila tetapi merupakan satu kesatuan yang berdiri sendiri secara utuh.
Pancasila Sebagai Ideologi Negara
Pancasila adalah sebagai ideologi terbuka dan dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang mendasar, bersifat tetap dan tidak berubah. Pancasila dikatakan memiliki dimensi terbuka memiliki dimensi identitas karena memiliki nilai-nilai yang dianggap baik, benar oleh masyarakat Indonesia.
Perbandingan antara ideologi liberalisme, komunisme, dan pancasila
Liberalisme ciri-cirinya adalah: memiliki kecenderungan untuk mendukung perubahan, mempunyai kepercayaan terhadap nalar manusiawi, bersedia menggunakan pemerintah untuk meningkatkan kondisi manusiawi,  mendukung kebebasan individu, bersikap embivalen terhadap sifat manusia.
Liberalisme yang menyuarakan kebebasan hak-hak manusia yang hampir tanpa batas ini berbeda dengan UUD’45 . dalam UUD’45 juga menyuarakan hak azasi manusia tetapi juga mencantumkan kewajiban- kewajiban warga negara.
Makna Sila-Sila Pancasila
Arti dan makna sila ketuhanan yang maha esa adalah mengandung arti pengakuan adanya kuasa prima yaitu Tuhan Yang Maha Esa untuk menjamin penduduk agar memeluk agama dan beribadat menurut kepercayaannya masing-masing, tidak memaksa warga negara untuk beragama serta menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama yang berorientasi pada alam kehidupan beragama dan Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan iman warganya. Arti dan makna sila kemanusian yang adil dan beradab menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan, menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa serta mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah
Arti dan makna sila persatuan indonesia.
Pokok-pokok pikiran yang perlu dipahami antara lain : Nasionalisme, cinta bangsa dan tanah air, menggalang persatuan dan kesatuan bangsa, menghilangkan penonjolan kekuatan atau kekuasaan maupun warna kulit dan keturunan, menumbuhkan rasa senasib sepenanggungan. Sedangkan arti dan makna sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan pada hakikatnya sila ini adalah demokrasi. Permusyawaratan artinya mengusahakan putusan bersama secara bulat, baru sesudah itu diadakan tindakan bersama.Dalam melaksanakan keputusan dibutuhkan kejujuran bersama arti dan makna sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan bagi kebahagian bersama menurut potensi masing-masing dengan melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat bekerja sesuai dengan bidangnya. Tiga macam keadilan legalis, yaitu keadilan yang arahnya dari diri pribadi ke seluruh masyarakat, keadilan distributuf, yaitu keseluruhan masyarakat wajib memperlakukan manusia pribadi sebagai manusia yang sama martabatnya dan keadilan komutatif, yaitu memperlakukan warga lain sebagi pribadi yang sama martabatnya.
Pancasila Sebagai Pradigma Pembangunan Bangsa
Pancasila sebagai orientasi pembangunan yang memberi orientasi untuk terbentuknya struktur kehidupan sosial politik dan ekonomi yang manusiawi, demokratis dan adil bagi seluruh rakyat. Pancasila sebagai kerangka acuan pembangunan Pancasila sebagai nilai- nilai dasar yang menjadi referensi kritik sosial budaya dimaksudkan agar proses perubahannya yang sangat cepat yang terutama diakibatkan oleh perkembangan teknologi yang luar biasa yang terjadi dalam derap dan langkah pembangunan tetap dijiwai nilai-nilai pancasila. Implementasi pancasila sebagai paradigma dalam berbagai bidang Pancasila sebagai paradigma pembangunan pendidikan.
Pendidikan nasional harus dipersatuan atas pancasila. Tak sesogyanya bagi penyelesaian- penyelesaian masalah-masalah  pendidikan nasional dipegunakan secara langsung sistem-sistem aliran-aliran ajaran, teori, filsafat, praktek pedidikan berasal dari luar.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan ideologi Pengembangan pancasila sebagai ideologi yang memiliki dimensi realitas, idealitas dan fleksibilitas menghendaki adanya dialog yang tiada henti dengan tantangan-tantangan masa kini dan masa depan dengan tetap mengacu kepada pencapaian tujuan nasional dan cita-cita nasional   Indonesia.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan politik untuk mengatasi permasalahan politik, tidak ada jawaban lain kecuali bahwa kita harus mengembangkan sistem politik yang benar-benar demokratis. Demokratisasi merupakan upaya penting dalam mewujudkan civil society.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan ekonomi nasional harus juga berarti pembangunan sistem ekonomi yang kita anggap paling cocok bagi bangsa indonesi. Dalam penyusunan sistem ekonomi nasional yang tangguh untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, sudah semestinya pancasila sebagai landasan filosifinya.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan sosial buadaya dalam kehidupan sosial buadaya masyarakat masing- masing melalui pengembangan kehidupan yang bermakna dan kemampuan untuk memuliakan kehidupan itu sendiri.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan ketahanan nasional
Penyelenggaraan ketahanan nasional itu dengan sendirinya berbeda-beda sesuai dengan letak dan kondisi geografisnya serta budaya. Bangsa.bangsa itu terpeliraha persatuannya berkat adanya seperangkat nilai yang duhayati bersama oleh para warganegaranya. Perangkat nilai bangsa yang satu berbeda dengan perangkat nilai bangsa lain. Bagi bangsa indonesia perangkat nilai ,perangkat nilai itu ialah pancasila.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum terahadap sistim hukum menurut wawasan pancasila yang merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem kehidupan masyarakat sebagai satu keutuhan dan karena itu berkaitan secara timbal balik, melalui berbagai pengaruh dan interaksinya.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan kehidupan beragama, kita hidup dalam berbagai perbedaan, salah satunya ialah perbedaan dalam beragama.
Pada hakikatnya semua agama dianggap sama hanya cara beribahnya berbeda satu dengan yang lain. Dengan adanya pancasila sebagai falsafah hidup diharapkan tidak ada batasan pergaulan antar agama. Saling menghormati dan menghargai satu sama lain, sehingga persatuan dan kesatuan tetap terjaga.
Begitu pula Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu dan teknologi, Pancasila mengandung hal-hal yang penting dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Dari sila 1 hingga 5 merupakan tolak ukur bagaimana manusia mengembangkan ilmu dan teknologi tersebut.
FILSAFAT HUKUM SUMBER INSPIRATIF PANCASILA DIDALAM PEREKONOMIAN NASIONAL
Semua perkembangan budaya dan peradaban modern termasuk  pemikiran ipteks juga bukan berawal dari Barat; sebab peradaban Timur Tengah telah berkembang melalui berbagai bidang keilmuan, sampai pendidikan tinggi (universitas) dirintis 750 – 1300 M. Budaya ipteks mulai berkembang di Barat sekitar abad XVI ditandai dengan Renaissance dan Aufklarung. Namun, abad XXI keunggulan kepeloporan Barat memukau dunia ilmu pengetahuan, sehingga masyarakat modern, mengenal Barat sebagai perintis dan pengembang ipteks, yang mulai berkembang abad XVIII – sekarang.
Makna dan Fungsi Filsafat
Sesungguhnya nilai filsafat amat fungsional dalam mendorong pengembangan ipteks, sebagai sumber motivasi pengembaraan dan pengabdian manusia. Fenomena ini dilukiskan dalam skema 1; bagaimana peranan nilai filsafat (Timur Tengah) menjadi sumber energi manusia dalam pengembangan dan pengabdian (nilai) ipteks. Sedemikian besar pengaruh nilai filsafat Timur Tengah sehingga hampir semua umat manusia pada semua benua di dunia menganut nilai filosofis theisme religious yang memberikan motivasi kebajikan, cinta-kasih dan pengabdian.
  1. Konsepsi Filsafat
  2. Sejarah budaya dan ilmu pengetahuan mengakui bahw abidang filsafat dianggap sebagai induk atau ratu ilmu pengetahuan, dan merupakan bidang pemikiran tertua dalam peradaban (Avey 1961: 3 – 4).
  3. Filsafat mencari dan menjangkau kebenaran fundamental dan hakiki untuk dijadikan filsafat hidup sebagai kebenaran terbaik.  Nilai filsafat yang bersumber dari Timur Tengah terpadu dengan nilai ajaran agama, karena nilai intrinsik agama yang metafisis-supranatural sinergis dengan nilai filsafat yang cenderung fundamental, komprehensif (kesemestaan), metafisis, universal dan hakiki. Demikian pula nilai agama (Ketuhanan, keagamaan) berwatak fundamental-universal, suprarasional dan supranatural. Identitas filosofis theisme religious Timur Tengah dapat diakui sebagai sumur madu peradaban —dibandingkan filsafat Barat sebagai sumur susu peradaban. Karenanya, manusia sehat, sebaiknya minum susu dengan madu; demikian pula bangsa yang jaya seyogyanya menegakkan nilai theisme religious sinergis dengan filsafat dan ipteks.
  4. Filsafat Pancasila adalah bagian dari sistem filsafat Timur; karenanya ajarannya memancarkan identitas dan martabat theisme-religious sebagai nilai keunggulannya. Artinya, keunggulan sistem filsafat Pancasila terpancar dari asas theisme religious yang menjadi tumpuan keyakinan (kerokhanian) dan moral kepribadian manusia. Tegasnya, keunggulan (kepribadian) manusia, bukanlah penguasaan keunggulan ipteks; melainkan keunggulan moralitas manusia.
  5. Fungsi Filsafat, sebagai nilai kebenaran fundamental dan hakiki, ajaran filsafat oleh penganutnya dijadikan pandangan hidup (filsafat hidup, Weltanschauung). Ajaran ini bagi bangsa merdeka dan berdaulat umumnya dijadikan sebagai dasar negara (filsafat negara, ideologi negara, ideologi nasional). Ajaran filsafat demikian ditegakkan sebagai sistem kenegaraan; yang menjiwai, melandasi dan memandu kehidupan berbangsa, bernegara dan berbudaya. Pusat kesetiaan dan kebanggaan nasional suatu bangsa, terutama kepada nilai dasar negara dan ideologi negara; yang terjabar secara konstitusional di dalam UUD negara.Dinamika dunia modern berpacu antar sistem filsafat (baca: sistem kenegaraan) untuk merebut supremasi ideologi sebagai pembuktian kebenaran dan keunggulan sistem filsafatnya.
  6. Sifat filsafat
  7. Aliran, tepatnya sistem filsafat menjelma dalam tatanan (sistem) budaya dan sistem kenegaraan yang dominan adalah bersifat integralisme, existentialisme, phenomenology, universalisme dan berpandangan Pancasila dengan dilandasi kepada Neo-Positivisme, Hukum Positivisme, Sociological Jurisprudence, berdasarkan keanekaragaman Agama,     eksistensialisme,  fenomenologi berdasarkan Pancasila.
  8. Ajaran dan Sistematika Filsafat
  9. Sepanjang sejarah dari Barat dan Timur telah berkembang berbagai aliran filsafat yang mempengaruhi pemikiran dan sistem budaya sampai sistem kenegaraan, melalui sistem ideologi dan sistem hukum yang ditegakkan bangsa negara modern. Aliran-aliran filsafat makin berkembang sebagai sistem filsafat yang masing-masing menganggap ajarannya yang terbaik. Karenanya, secara filosofis terjadi kompetisi untuk membuktikan validitas dan keunggulan ajarannya. Dalam dinamika dunia dan budaya modern, sampai era postmodernisme kompetisi demikian makin meningkat sebagai perebutan supremasi (keunggulan) demi citra dan cita masing-masing penganutnya. Dunia modern mengenal sistem filsafat dimaksud sebagai ajaran dan sistem ideologi: theokratisme, zionisme, kapitalisme-liberalisme, sekularisme; marxisme-komunisme-atheisme, sosialisme, fundamentalisme dan filsafat Pancasila. Berbagai negara modern tegak dan berkembang berdasarkan ajaran berbagai sistem filsafat dan atau sistem ideologi dimaksud.
Filsafat Sebagai Landasan Hukum
1. Ajaran Filsafat Hukum Alam, Ajaran filsafat hukum alam, lebih terkenal sebagai: Natural Law Theory (Teori Hukum Alam). Filsafat ini mengajarkan bahwa HAM adalah anugerah alam, untuk manusia sebagai individu. HAM terutama berwujud: life, liberty, and property (= hidup, kemerdekaan dan hak milik).  Teori ini melahirkan ajaran yang bersifat memuja individualisme dan kebebasan (liberalisme); sekaligus memuja hak milik dalam makna: materi, kekayaan, dan kapital; karenanya berwatak kapitalisme. Teori ini kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh pemikir dan pelopornya menjadi teori kenegaraan sebagai dianut dan dikembangkan oleh negara-negara Barat, yang terkenal sebagai paham atau ajaran ideologi kapitalisme-liberalisme.
Ajaran ini melahirkan pemujaan atas kedudukan manusia sebagai individu, karenanya: individualisme yang berkembang dalam asas demokrasi (demokrasi liberal) dan kemudian menjadi karakter budaya negara Barat umumnya. Ideologi ini bersumber dari ajaran filsafat hukum alam, atau dikenal dengan nama Natural Law Theory. Ajaran kapitalisme-liberalisme dikembangkan oleh tokoh pemikirnya, Adam Smith (1723 – 1790). Dia adalah tokoh amat berpengaruh dalam politik ekonomi Barat, yang semula lebih terkenal sebagai ahli filsafat moral, sebagai terbukti dari karyanya: The Theory of Moral Sintements (1759) yang sinergis dengan  psikologi moral.
Adam Smith lebih terkenal dengan karyanya: The Wealth of Nations (1776) yang mengajarkan bahwa setiap bangsa memiliki dan mewarisi kekayaan nasional, baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun nilai-nilai budaya. Kekayaan nasional berkembang atau menyusut; sebagai proses alamiah yang ditentukan oleh potensi dan kebutuhan warga bangsanya. Bila bangsa itu berkembang dan mampu mengembangkan sumber daya alam dengan menguasai komuditas ekonomi, bangsa itu akan berjaya. Karyanya ini menjadi “landasan dan kitab suci” kaum penganut kapitalisme-liberalisme. Pemikiran Smith sangat berpengaruh dalam budaya dan peradaban sosial politik dunia Barat.
Ajaran kapitalisme-liberalisme menjadi budaya dan peradaban Barat; bahkan sebagai sistem nilai dan budaya politik Eropa dan Amerika modern. Artinya, kapitalisme-liberalisme menjadi identitas ideologi negara-negara Barat. Dapat juga diartikan bahwa paham individualisme dan liberalisme sebagai ajaran HAM berdasarkan teori hukum alam dikembangkan dengan kapitalisme-liberalisme dalam politik dan ekonomi. Makin berkembang dengan asas moral sekularisme, pragmatisme dan behaviorisme; karenanya budaya politik mereka bersifat individualisme-kapitalisme (= materialisme) dengan memuja kebebasan ( liberalisme) melalui tatanan demokrasi. Identitas atau watak individualisme-materialisme berdasarkan liberalisme melahirkan budaya free fights liberalism, yang berpuncak dengan penguasaan kekayaan alam (dan manusia), yang dikenal sebagai kolonialisme-imperialisme. Sampai memasuki abad XXI budaya demikian terus memuncak dengan gerakan globalisasi-liberalisasi dalam dinamika postmodernisme……yang sesungguhnya adalah neo dan ultraimperialisme. Amerika Serikat dan Unie Eropa adalah sekutu untuk merebut supremasi politik dan ekonomi dunia masa depan. Renungkan dan hayati apa yang kita saksikan dalam sejarah modern abad XVI sampai abad XX; berlanjut dan berpuncak dalam abad XXI. Kita menyaksikan bagaimana organisasi dunia (UNO/PBB) juga sudah dibawah supremasi USA, sekalipun mereka menginvasi dan menduduki (menjajah) Afghanistan dan Irak.
2.    HAM Berdasarkan Ajaran Filsafat Idealisme Murni (Hegel), George Friderich Hegel (1770 – 1831) adalah tokoh besar filsafat modern; ajarannya, terkenal sebagai idealisme murni.Hegel mengajarkan bahwa alam semesta dan peradaban berkembang dalam asas dan pola dasar dialektika: thesis; melahirkan antithesis; dan berkembang sebagai sinthesis….. berpuncak dalam kesempurnaan semesta, dalam makna sebagai ciptaan Yang Maha Sempurna (Tuhan). Karenanya, filsafat Hegel dianggap bersifat theokratis (theokratisme). Secara ringkasnya menurut ajaran Hegel adalah 1.    Hak Asasi Manusia: Kedudukan Manusia dalam Negara, Hegel percaya bahwa manusia individu manunggal di dalam kebersamaan (kolektivitas). Individu bermakna dan berfungsi dalam keutuhan lingkungan peradabannya; kolektivitas atau negara merupakan organisme (totalitas). Hak asasi manusia (HAM), dan martabatnya demi negara, dan kedaulatan negara. Jadi, Hegel mengutamakan komunitas atau sosialitas dalam integritas negara. Hegel percaya manusia dan negara diciptakan oleh Tuhan; demi kesejahteraan manusia sebagai masyarakat (kolektif). Manusia menikmati hak asasi manusia (HAM) bukan sebagai individu, melainkan sebagai masyarakat (kolektif, negara). Individu lebur dalam kebersamaan; bermakna dalam fungsi sosial. Sebaliknya, individu samasekali tidak berfungsi dalam kesendirian (individualisme). Ajaran Hegel, yakni idealisme murni mengakui asas Ketuhanan (theokratisme) sebagai Maha Pencipta dan Maha Pengatur semua ciptaannya: umat manusia, bangsa-bangsa, budaya dan peradaban, termasuk negara. Masyarakat dan negara adalah kelembagaan hidup bersama sebagai keluarga (makro); mereka bermakna di dalam dan untuk masyarakat/negara. Manusia hidup, berkembang dan berfungsi berkat dan untuk komunitas. Komunitas sosial dan nasional ialah Negara dan 2. ajaran Theokratisme adalah berpusat pada teori negara dan kedaulatan negara. Hegel mengakui negara sebagai pelembagaan aspirasi nasional yang terikat dengan hukum dialektika. Hegel menyatakan: negara adalah perwujudan karsa dan kekuasaan (kedaulatan) Tuhan. Karenanya, teori Hegel tentang negara ialah berdasarkan asas theokratisme. Maknanya, negara dan kedaulatan dalam negara diamanatkan oleh Tuhan untuk ditegakkan oleh kepala negara atas nama Tuhan. Karena itu pula, teori negara menurut Hegel ialah teori kedaulatan Tuhan (theokratisme). Dimana Negara memiliki kedaulatan sebagai amanat Tuhan; karenanya diakui sebagai kedaulatan Tuhan (theokratisme). Sebagai penegak kedaulatan Tuhan di dalam negara, diwakilkan dan dipercayakan kepada kepala Negara, karenanya kepala negara memiliki otoritas mutlak atas nama Tuhan. Asas kedaulatan negara atas nama Tuhan, menjadi paham pemujaan terhadap negara (Etatisme, serba negara); diktatorial, totalitarianisme, authoritarianisme.
Berdasarkan ajaran dan teori Hegel ini, manusia mengemban amanat (moral) Ketuhanan, sehingga masyarakat dan negara termasuk penegakan HAM berdasarkan asas moral dan nilai Ketuhanan. (Encyclopaedia Britannica 1982, vol. 7 – 8: 612 – 731).     Karl Marx (1818 – 1883) adalah murid Hegel yang kemudian menjiplak teori Hegel (yang mengutamakan kolektivitas dan negara; kedaulatan negara) menjadi teori komunisme. Ajaran Karl Marx mendegradasi dialektika Hegel sebagai ajaran dialektika – historis – materialisme; yang kemudian dikembangkan melalui revolusi rakyat —kaum buruh— untuk mendirikan negara komunis. Ajarannya, terkenal sebagai marxisme-komunisme-atheisme.
3.     Ajaran HAM Berdasarkan Filsafat Pancasila, sistem filsafat Pancasila diakui sebagai bagian dari ajaran sistem filsafat Timur, yang secara kodrati memiliki integritas dan identitas sebagai sistem filsafat theisme-religious; dan monotheisme-religious. Karenanya, identitas martabatnya yang demikian secara intrinsik dan fungsional memancarkan integritas ajaran yang mengakui potensi martabat kepribadian manusia, sebagai terpancar dalam integritas jasmani-rokhani. Integritas dan martabat manusia yang luhur memancarkan potensi unggul dan mulia, sebagai makhluk mulia ciptaan Allah Yang Maha Kuasa). Kemuliaan martabat manusia ialah kesadaran kewajiban asasi untuk menunaikan amanat Ketuhanan dalam peradaban.
Berdasarkan asas dan wawasan sistem filsafat demikian, maka filsafat Pancasila mengajarkan asas-asas fundamental Ketuhanan dan kemanusiaan sebagai inti ajaran moral; yang dapat dianalisis secara normatif memberikan kedudukan yang tinggi dan mulia atas kedudukan dan martabat manusia (sila I dan II). Karenanya ajaran HAM berdasarkan Pancasila memancarkan asas normatif theisme-religious:
1.    bahwa HAM adalah karunia dan anugerah Maha Pencipta (sila I dan II); sekaligus amanat untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia.
2.    bahwa menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan kewajiban asasi manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak hanya berkat (umat) manusia menunaikan KAM sebagai amanat Maha Pencipta.
3.    kewajiban asasi manusia (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, ialah:
a.    manusia wajib mengakui sumber (HAM: life, liberty, property) adalah Tuhan Maha Pencipta (sila I).
b.    manusia wajib mengakui dan menerima kedaulatan Maha Pencipta atas semesta, termasuk atas nasib dan takdir manusia;  dan
c.    manusia wajib berterima kasih dan berkhidmat kepada Maha Pencipta, atas anugerah dan amanat yang dipercayakan kepada (kepribadian) manusia.
Tegaknya ajaran HAM ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan HAM dan KAM; sekaligus sebagai integritas martabat moral manusia. Sebagai manusia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita juga bersyukur atas potensi jasmani-rokhani, dan martabat unggul, agung dan mulia manusia berkat anugerah kerokhaniannya —sebagai terpancar dari akal-budinuraninya— sebagai subyek budaya (termasuk subyek hukum) dan subyek moral. (M. Noor Syam 2007: 147-160).
Berdasarkan ajaran suatu sistem filsafat, maka wawasan manusia (termasuk wawasan nasional) atas martabat manusia, menetapkan bagaimana sistem kenegaraan ditegakkan; sebagaimana bangsa Indonesia menetapkan NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat dan negara hukum. Kedua asas fundamental ini memancarkan identitas dan keunggulan sistem kenegaraan RI berdasarkan Pancasila –UUD 45. Ajaran luhur filsafat Pancasila memancarkan identitas theisme-religious sebagai keunggulan sistem filsafat Pancasila dan filsafat Timur umumnya, karena sesuai dengan potensi martabat dan integritas kepribadian manusia.
4.    Pokok-Pokok Ajaran Filsafat Pancasila,  memahami, membandingkan dan menghayati kandungan nilai filsafat Pancasila, kita bersyukur mewarisi nilai dan ajaran filsafat Pancasila sebagai bagian dari sistem filsafat Timur. Karenanya, identitas dan integritas Pancasila sebagai sistem filsafat memancarkan integritas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religius. Identitas dan integritas demikian memancarkan keunggulan dibandingkan berbagai sistem filsafat lainnya, yang beridentitas: polytheisme, monotheisme, sekularisme, pantheisme sampai atheisme dalam berbagai aliran seperti: theokratisme, zionisme, kapitalisme-liberalisme; marxisme-komunisme-atheisme, sosialisme; fundamentalisme dan Pancasila. Integritas fundamental ajaran filsafat Pancasila secara ringkas terlukis dalam skema 4 dengan klarifikasi ringkas berikut:
1.     makna dan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kita yakini sebagai Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Berdaulat, Maha Pengatur dan Maha Pengayom semesta. Dalam kedaulatan Maha Pencipta, kesemestaan berkembang dalam harmoni dan kesejahteraan berkat pengayoman abadi Yang Maha Berdaulat melalui ikatan fungsional-integral-universal (imperatif, mutlak) dalam tatanan hukum:
a.    hukum alam; yang bersifat obyektif, fisis, kausalitas, mutlak, abadi, dan universal dan b.hukum moral yang bersifat obyektif subyektif, psiko fisis, sosial subyektif, mutlak, teleologis,  abadi dan universal tercermin dalam budinurani dan kesadaran keagamaan.
2.     alam semesta, makro kosmos yang meliputi realitas eksistensial fenomenal dan tidak terbatas dalam keberadaan ruang dan waktu sebagai prakondisi dan prawahana kehidupan semua makhluk (flora, fauna, manusia dsb). Alam semesta menjamin kehidupan semua makhluk, melalui tersedianya: cahaya sebagai energi; udara, air, tanah, tambang, flora dan fauna. Semuanya menjamin kehidupan dan berkembangnya kebudayaan dan peradaban.
3. manusia sebagai umat manusia keseluruhan di bumi. Subyek manusia dengan potensi dan martabat kepribadiannya mengemban amanat Ketuhanan (keberagamaan), kebudayaan dan peradaban berwujud kesadaran hak asasi manusia (HAM) dan kewajiban asasi manusia (KAM). Penghayatan dan pengamalan manusia atas HAM secara normatif berdasarkan asas keseimbangan HAM dan KAM demi keharmonisan dan kesejahteraan jasmaniah-rokhaniah, dunia dan akhirat.
4.    Sistem Budaya, sebagai prestasi cipta karya manusia, wahana komunikasi, perwujudan potensi martabat kepribadian manusia, berpuncak sebagai peradaban dan moral. Sistem budaya warisan sosio budaya: lokal, nasional dan universal, sebagai pancaran potensi keunggulan martabat manusia.
5.    Sistem Kenegaraan sebagai perwujudan dan prestasi perjuangan dan cita nasional; kemerdekaan dan kedaulatan bangsa; pusat kesetiaan dan kebanggaan nasional warga negara.  Sistem kenegaraan sebagai pusat dan puncak kelembagaan dan kepemimpinan nasional, pusat kesetiaan dan pengabdian warga negara. SK sebagai pengelola kesejahteraan rakyat warga negara; penegak kedaulatan dan keadilan; dan pusat kelembagaan dan kepemimpinan nasional dalam fungsi pengayoman rakyat warga negara dan penduduk. SK berkembang dalam kejayaan berkat integritas manusia waga negara dengan menegakkan kemerdekaan, kedaulatan, keadilan demi kesejahteraan dan perdamaian antar bangsa dalam semangat kerjasama umat manusia.
6.    subyek manusia mandiri yang berkembang (pribadi, berkeluarga, berkarya, berkebajikan) dalam asas dan wawasan horizontal dan vertikal (sebagai fungsi kerokhanian dan moral martabat manusia). P berkembang dan mengabdi dalam antar hubungan diagonal dan vertikal sebagai subyek mandiri dalam kategori integritas subyek budaya dan subyek moral,yang terus meningkat secara spiritual (teleologis), dengan memancarkan cinta dan kebajikan dalam proses menuju Tuhan dan keabadian.
Secara filosofis-ideologis dan konstitusional essensi ajaran filsafat moral Pancasila, berpedoman kepada UUD 45 seutuhnya, terutama Pembukaan dan pasal 29. Lukisan dalam klarifikasi skematis di atas, sebagai kandungan fundamental sistem filsafat Pancasila memancarkan integritas-identitas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious (monotheisme-religious) yang unggul dan luhur karena sesuai dengan kodrat martabat kepribadian manusia. Uraian ringkas pokok-pokok ajaran sistem filsafat Pancasila di atas, diakui sebagai suatu alternatif pemikiran, yang dapat dikembangkan oleh para pakar demi pengayaan khanasah kepustakaan sistem filsafat Pancasila.
Analisa Masalah Secara Faktor Internal
Analisa secara faktor internal terhadap pemahaman moral dari setiap warga negara yang tidak konsisten terhadap falsafat negara yaitu Pancasila, yang mengakibatkan seringnya terjadi pelanggaran terhadap hukum yang dapat merugikan orang lain maupun negara adalah  disebabkan karena telah berkurangnya atau telah memudarnya nilat hukum adat yang tumbuh dan berkembang didalam masyarakat, dimana nilai-nilai atau kedah-kaedah positif tersebut adalah merupakan sebagai sosial kontrol terhadap segala tindak tanduk masyarakat apabila tidak adanya nilai-nilai yang mendasar tersebut setiap masyarakat maupun manusia akan selalu berupaya melakukan tidakan-tindakan yang dilarang oleh nilai/norma-norma atau kaedah yang hidup didalam masyarakat tersebut.
Dimana secara internal pada umumnya baik kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakukan yang berupa peratran Pemeintah tidak dapat mengontrol dan menjangkau manusia atau masyarakat tersebut karena faktor-faktor internal yang menyebabkan tidak berfungsinya nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasia dan UU Dasar 1945 dan sebagai akibatnya fungsi dari peraturan Pemerintah yang berdasarkan kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakukan  menjadi terdapatnya nilai-nilai yang ditumpangi oleh kepentingan sefelintir manusia saja atau unsur kekuasaan dari Pemerintah.
D.    Analisa Masalah Secara Faktor Eksternal
Analisa masalah secara faktor eksternal dimana kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakukan juga akan dipengaruhi oleh kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakukan yang berkekuatan sacara eksternal (dalam hal ini negara-negara super power), yang sangat berperan dan berpengaruh terhadap nilai-nilai yang terkandung didalam Panasila, seperti kebijakan Ekonomi, Politik Internasional, budaya, hak asasi manusia dan agama, yang mengakibatkan kebijakan dasar mapun kebijakan pemberlakukan yang secara internal dari Pemerintah tidak dapat berdaya sama sekali dan kadang kala melupakan nilai-nilai luhur dari Pancasila tersebut.
Kesimpulan    :
1.    Pengertian Filsafat adalah berasal dari kata Yunani yaitu Filosofia berasal dari kata kerja Filosofein artinya mencintai kebijaksanaan, akan tetapi belum menampakkan hakekat yang sebenarnya adalah himbauan kepada kebijaksanaan. Dengan demikian seorang filsuf adalah orang yang sedang mencari kebijaksanaan, sedangkan pengertian “ orang bijak” (di Timur) seperti di India, cina kuno adalah orang bijak, yang telah tahu arti tahu yang sedalam-dalamnya(ajaran kebatinan), orang bijak/filsuf adalah orang yang sedang berusaha mendapatkan kebijaksanaan atau kebenaran, yang mana kebenaran tersebut tidak mungkin ditemukan oleh satu orang saja. Dengan demikian difinisi filsafat yaitu “Usaha manusia dengan akalnya untuk memperoleh suatu pandangan dunia dan hidup yang memuaskan hati” ( difinisi ini sepanjang abad).
2.    Yang melatar belakangi filsafat kuna adalah rasa keingin tahuan dari manusia dan rasa keingin tahuan manusia dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak/ susah untuk mencari jawabannya. Akan tetapi akal manusia tidak puas dengan keterangan dongeng atau mite-mite dan mulai manusia mencari-cari dengan akalnya dari mana asal alam semesta yang menakjubkan itu. Para pemikir filsafat yang pertama hidup dimiletos kira-kira pada abad ke 6 SM, dimana pada abad tersebut tentang pemikiran mereka disimpulkan dari potongan-potongan, yang diberitakan kepada manusia dikemudian hari atau zaman. Dan dapat dikatakan bahwa mereka adalah filsafat alam artinya para ahli fikir yang menjadikan alam yang luas dan penuh keselarasan yang menjadi sasaran para ahli filsafat tersebut (objek pemikirannya adalah alam semesta). Tokoh pertamanya yang melakukan penyelidikan adalah Thales (+ 625 -545 SM) dikuti dengan tokoh kedua  yaitu Anaximandros ( + 610-540 SM) dan ada juga tokoh lain yang bernama Pythagoras (+ 580 – 500SM), Xenophanesa (+ 570-430SM), Herakleitosa (+ 540-475SM), Parmenidesa (+540-475SM), Zeno (490 SM), Empedoklis (492-432 SM), Empedokles (492-432 SM), Anaxagoras (499-420 SM) dan yang terakhir adalah Leukippos dan Demokritos, keduanya yang mengajarkan tentang atom. Akan tetapi yang paling dikenal adalah Demokritos (+ 460-370 SM) sebagai Filsuf Atomik.
3.    Terdapat macam-macam aliran filsafat yaitu 1. Aliran filsafat Kuna, 2. Aliran Filsafat, 3. Aliran Filsafat Modern Dalam Pembentukannya dan 4. Aliran Filsafat Abad ke 19 dan abad ke 20. Sedangkan terhadap sejarah kuna para ahli filsafat tersebut diatas adalah sebagai pintu pemikiran tentang filsafat yang mengenai alam semesta yaitu pertama, Filsafat Pra Sokrates adalah filsafat yang dilahirkan karena kemenangan akal atas dongeng atau mite-mite yang diterima dari agama, yang memberitahukan tentang asal muasal segala sesuatu, kedua, Filsafat Sokrates, Plato dan Aristoteles, ketiga, Filsafat Helenisme dan Romawi dan keempat, Filsafat Patristik.
4.    Sejarah Filsafat Abad Pertengahan, yaitu Pertama, filsafat yang menggambarkan suatu zaman yang baru sekali ditengah-tengah suatu rumpun bangsa baru, bangsa eropa barat(disebut filsafat Skolastik). Sebagian soklastik mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan abad pertengahan diusahakan disekolah-sekolah dan ilmu terikat pada tuntutan pengajaran disekolah-sekolah. Skolastik timbul di dibiara di Ballia Selatan tempat pengungsian  ketika ada perpindahan bangsa-bangsa. Pengaruh skolastik sampai ke Irlandia, Nederland dan Jerman dan kemudian timbul disekolah kapittel yaitu sekolah yang dikaitkan dengan geraja, Pertama, awal skolastik adalah Johanes Scotus Eriugena (810-870) dari irlandia adalah seorang yang ajaib yang menguasai bahasa yunani dengan amat baik pada zaman itu dan menyusun suatu sistim filsafat yang teratur serta mendalam pada zaman ketika orang masih berfikir hanya dengan mengumpulkan pendapat-pendapat orang lain, masih dikenal pula tokoh-tokoh lain yaitu Augustinus dan Dionisios dan Areopagos. Pangkal pemikiran metafisis adalah, makin umum sifat sesuatu, makin nytalah sesuatu itu, yang paling bersifat umum itulah yang paling nyata.Oleh karena itu zat yang sifatnya paling umum tentu memiliki realitas yang paling tinggi. Zat yang demikian adalah alam semesta, alam adalah keseluruhan realita dan oleh karena hakekat alam adalah satu,esa. Alam yang esa dan kedua, zaman kejayaan sklolastik (abad ke 12).
5.    Filsafat hukum Indonesia dan teori hukum Indonesia yang hendak dibentuk dan digagas serta dikembangkan hingga ilmu hukum Indonesia secara sistematis tentunya didasarkan pada nilai pandangan filsafat pancasaila yang memiliki aspek ontologi monodualisme atau mono plularisme. Bahwa hakikat dari kenyataan yang ada sumber aslinya berupa baik materi atau rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri serta bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Oleh karena itulah pandangan filsafat Pancasila yang menjadi dasar dari filsafat hukum Indonesia, teori hukum Indonesia.  Demikian pula dengan aspek epistemologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia yang hendak digagas, dibangun dan dikembangkan tersebut, maka sebagai konsekuensi asas keseimbangan dari nilai pandangan filsafat Pancasila tentunya sumber pengetahuan dari bangunan ilmu hukum Indnesia  tersebut akan mengakui baik idealisme atau rasionalisme  yang menekankan pada peranan akal juga akan mengakui realisme atau empirisme yang menekankan pada peranan indra atau pengalaman empirik, serta mengakui pula peranan wahyu sebagai sumber pengetahuan yang tidak kalah pentingnya. Terhadap aspek aksiologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia, maka tidak bebas nilai terutama jika dikaitkan dengan implementasi ilmu hukum tersebut dimasyarakat dan sebagai proses seperti ditunjukkan dalam studi kasus euthanasia, nampak bahwa ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pengetahuan hukum pada khususnya, sarat dengan balutan nilai-nilai moral atau etika, terutama nilai pandangan Pancasila tentang moral (perilaku yang baik dan yang buruk) juga nilai-nilai keagamaan yang bersifat sakral dalam implementasinya pandangan nilai keseimbangan dari filsafat Pancasila tersebut saat ini telah mengalami distorsi karena perkembangan masyarakat Indonesia sendiri yang telah mengalami trasformasi sosial budaya, yaitu yang dulunya sebagai  masyarakat agraris yang bersifat paguyuban (gemeinschaft) menuju ke arah masyarakat industri yang bersifat patembayan (gesselschaft),  serta adanya pengaruh dari globalisasi dunia yang sulit untuk ditolak, sehingga nilai-nilai spiritualisme telah tergerus oleh nilai-nilai materialisme.
6.    Bahwa sesungguhnya UUD Negara adalah jabaran dari filsafat negara Pancasila sebagai ideologi nasional (Weltanschauung); asas kerokhanian negara dan jatidiri bangsa. Karenanya menjadi asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional bangsa; menjiwai dan melandasi cita budaya dan moral politik nasional, sebagai terjabar dalam asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional : kedua, Negara kesatuan, negara bangsa (nation state, wawasan nasional dan wawasan nusantara: sila III), ditegakkan sebagai NKRI, kedua, Negara berkedaulatan rakyat (negara demokrasi: asas normati sila IV), ketiga, Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab (sila I-II) sebagai asas moral kebangsaan dan kenegaraan RI; ditegakkan sebagai budaya dan moral (manusia warga negara) politik Indonesia, keempat,  Negara berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat): asas supremasi hukum demi keadilan dan keadilan sosial: oleh semua untuk semua (sila I-II-IV-V); sebagai negara hukum Pancasila dan kelima,  Negara berdasarkan asas kekeluargaan (paham persatuan: negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan seluruh rakyat Indonesia, negara mengatasi paham golongan dan paham perseorangan: sila III-IV-V) dijiwai dan dilandasi sila I-II; dan ditegakkan dalam sistem ekonomi Pancasila, sebagai demokrasi ekonomi dan pemberdayaan rakyat sebagai SDM subyek penegak integritas NKRI. Asas-asas fundamental ini ditegakkan secara normatif-fungsional dalam N-sistem nasional (sejumlah sistem nasional). Sesungguhnya pendidikan nasional in casu pendidikan nilai dasar Pancasila adalah asas dan inti nation and character building sinergis dengan System bildung (pembangunan dan pengembangan sistem, yakni sistem nasional); terutama: sistem nasional dalam politik dengan asas kedaulatan rakyat atau demokrasi (demokrasi berdasarkan Pancasila); sistem nasional dalam ekonomi (sistem ekonomi Pancasila); dan sistem nasional dalam hukum (sistem hukum Pancasila)….. dan sebagainya.
7.    Ajaran Filsafat Hukum Alam, Ajaran filsafat hukum alam, lebih terkenal sebagai: Natural Law Theory (Teori Hukum Alam), yang mengajarkan bahwa HAM adalah anugerah alam, untuk manusia sebagai individu yang berwujud life, liberty, and property (= hidup, kemerdekaan dan hak milik).  Ajaran ini melahirkan pemujaan atas kedudukan manusia sebagai individu, karenanya: individualisme yang berkembang dalam asas demokrasi (demokrasi liberal) dan kemudian menjadi karakter budaya negara Barat umumnya. Ideologi ini bersumber dari ajaran filsafat hukum alam, atau dikenal dengan nama Natural Law Theory. Ajaran kapitalisme-liberalisme dikembangkan oleh tokoh pemikirnya, Adam Smith (1723 – 1790), tokoh amat berpengaruh dalam politik ekonomi Barat, yang semula lebih terkenal sebagai ahli filsafat moral, sebagai terbukti dari karyanya: The Theory of Moral Sintements (1759) yang sinergis dengan  psikologi moral.Kekayaan nasional berkembang atau menyusut; sebagai proses alamiah yang ditentukan oleh potensi dan kebutuhan warga bangsanya. Bila bangsa itu berkembang dan mampu mengembangkan sumber daya alam dengan menguasai komuditas ekonomi, bangsa itu akan berjaya. Karyanya ini menjadi “landasan dan kitab suci” kaum penganut kapitalisme-liberalisme. Pemikiran Smith sangat berpengaruh dalam budaya dan peradaban sosial politik dunia Barat.
8.    Ajaran kapitalisme-liberalisme menjadi budaya dan peradaban Barat; bahkan sebagai sistem nilai dan budaya politik Eropa dan Amerika modern. Artinya, kapitalisme-liberalisme menjadi identitas ideologi negara-negara Barat. Dapat juga diartikan bahwa paham individualisme dan liberalisme sebagai ajaran HAM berdasarkan teori hukum alam dikembangkan dengan kapitalisme-liberalisme dalam politik dan ekonomi. Makin berkembang dengan asas moral sekularisme, pragmatisme dan behaviorisme; karenanya budaya politik mereka bersifat individualisme-kapitalisme ( materialisme) dengan memuja kebebasan ( liberalisme) melalui tatanan demokrasi. Identitas atau watak individualisme-materialisme berdasarkan liberalisme melahirkan budaya free fights liberalism, yang berpuncak dengan penguasaan kekayaan alam (dan manusia), yang dikenal sebagai kolonialisme-imperialisme.
9.    Ajaran HAM Berdasarkan Filsafat Pancasila, sistem filsafat Pancasila diakui sebagai bagian dari ajaran sistem filsafat Timur, yang secara kodrati memiliki integritas dan identitas sebagai sistem filsafat theisme-religious; dan monotheisme-religious. Karenanya, identitas martabatnya yang demikian secara intrinsik dan fungsional memancarkan integritas ajaran yang mengakui potensi martabat kepribadian manusia, sebagai terpancar dalam integritas jasmani-rokhani. Integritas dan martabat manusia yang luhur memancarkan potensi unggul dan mulia, sebagai makhluk mulia ciptaan Allah Yang Maha Kuasa). Kemuliaan martabat manusia ialah kesadaran kewajiban asasi untuk menunaikan amanat Ketuhanan dalam peradaban.
10.    Filsafat Pancasila mengajarkan asas-asas fundamental Ketuhanan dan kemanusiaan sebagai inti ajaran moral; yang dapat dianalisis secara normatif memberikan kedudukan yang tinggi dan mulia atas kedudukan dan martabat manusia (sila I dan II). Karenanya ajaran HAM berdasarkan Pancasila memancarkan asas normatif theisme-religious: 1.bahwa HAM adalah karunia dan anugerah Maha Pencipta (sila I dan II); sekaligus amanat untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia, 2.bahwa menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan kewajiban asasi manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak hanya berkat (umat) manusia menunaikan KAM sebagai amanat Maha Pencipta dan 3.kewajiban asasi manusia (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, ialah: a.    manusia wajib mengakui sumber (HAM: life, liberty, property) adalah Tuhan Maha Pencipta (sila I),  b.manusia wajib mengakui dan menerima kedaulatan Maha Pencipta atas semesta, termasuk atas nasib dan takdir manusia;  dan c.    manusia wajib berterima kasih dan berkhidmat kepada Maha Pencipta, atas anugerah dan amanat yang dipercayakan kepada (kepribadian) manusia.
11.    Tegaknya ajaran HAM ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan HAM dan KAM; sekaligus sebagai integritas martabat moral manusia. Sebagai manusia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita juga bersyukur atas potensi jasmani-rokhani, dan martabat unggul, agung dan mulia manusia berkat anugerah kerokhaniannya, sebagai terpancar dari akal-budinuraninya sebagai subyek budaya (termasuk subyek hukum) dan subyek moral.
11.    Sistem filsafat, maka wawasan manusia (termasuk wawasan nasional) atas martabat manusia, menetapkan bagaimana sistem kenegaraan ditegakkan; sebagaimana bangsa Indonesia menetapkan NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat dan negara hukum. Kedua asas fundamental ini memancarkan identitas dan keunggulan sistem kenegaraan RI berdasarkan Pancasila –UUD 45. Ajaran luhur filsafat Pancasila memancarkan identitas theisme-religious sebagai keunggulan sistem filsafat Pancasila dan filsafat Timur umumnya, karena sesuai dengan potensi martabat dan integritas kepribadian manusia.
12.    Pokok-Pokok Ajaran Filsafat Pancasila,  memahami, membandingkan dan menghayati kandungan nilai filsafat Pancasila, kita bersyukur mewarisi nilai dan ajaran filsafat Pancasila sebagai bagian dari sistem filsafat Timur. Karenanya, identitas dan integritas Pancasila sebagai sistem filsafat memancarkan integritas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religius. Identitas dan integritas demikian memancarkan keunggulan dibandingkan berbagai sistem filsafat lainnya, yang beridentitas: polytheisme, monotheisme, sekularisme, pantheisme sampai atheisme dalam berbagai aliran seperti: theokratisme, zionisme, kapitalisme-liberalisme; marxisme-komunisme-atheisme, sosialisme; fundamentalisme dan Pancasila.
13.    Integritas fundamental ajaran filsafat Pancasila secara ringkas adalah makna dan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kita yakini sebagai Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Berdaulat, Maha Pengatur dan Maha Pengayom semesta. Dalam kedaulatan Maha Pencipta, kesemestaan berkembang dalam harmoni dan kesejahteraan berkat pengayoman abadi Yang Maha Berdaulat melalui ikatan fungsional-integral-universal (imperatif, mutlak) dalam tatanan hukum.
14.    Secara filosofis-ideologis dan konstitusional essensi ajaran filsafat moral Pancasila, berpedoman kepada UUD 45 seutuhnya, terutama Pembukaan dan pasal 29. Lukisan dalam klarifikasi skematis di atas, sebagai kandungan fundamental sistem filsafat Pancasila memancarkan integritas-identitas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religious (monotheisme-religious) yang unggul dan luhur karena sesuai dengan kodrat martabat kepribadian manusia.
Kepemimpinan AKTUALISASI PERAN PEMIMPIN DALAM RANGKA
MEWUJUDKAN KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)

Kepemimpinan pemerintahan pada semua tingkat pemerintahan mempunyai posisi yang strategis dalam usaha mewujudkan tujuan pemerintahan negara sesuai dengan cita-cita bangsa. Posisi strategis tersebut semakin dirasakan di lingkungan bangsa Indonesia yang sedang membangun dalam rangka mengisi kemerdekaan, karena pada dasarnya, sejarah suatu bangsa dan negara akan berkisar pada sejarah dan para pemimpin-pemimpinnya atau tokoh-tokohnya. Untuk itu diharapkan para pemimpin pemerintahan di semua tingkat menyadari posisinya dan berbuat sekuat tenaga untuk menggerakkan dan membimbing bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-citanya melalui pembangunan nasional. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia adalah satu jenis kepemimpinan di bidang pemerintahan atau kepemimpinan yang dijalankan oleh pejabat-pejabat pemerintahan, baik selaku pejabat badan legislatif, eksekutif maupun yudikatif, yang memiliki ciri-ciri yang khas yang terjabarkan dan dasar negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa yang mewarnai sistem pemerintahannya.
Melihat kenyataan di lapangan, dapat diamati bahwa kinerja dan Kepemimpinan Pemerintahan sampai saat ini masih belum sesuai dengan kehendak sebagian besar rakyat Indonesia. Hal tersebut tercermin dalam hampir semua sendi kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia yang semakin sulit dan ditambah lagi dengan stabilitas politik yang semakin menurun, menambah semakin terpuruknya Indonesia ke dalam krisis nasional yang berkepanjangan.
Menghadapi arus globalisasi yang semakin deras dan berpengaruh terhadap perkembangan lingkungan strategis, yang dapat menciptakan peluang dan kendala dalam pelaksanaan pembangunan nasional ke depan yang semakin kompleks, diperlukan aktualisasi Kepemimpinan Pemerintahan yang sejalan dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasionalnya, sesuai dengan jiwa dan semangat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar tahun 1945.
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang antara lain bertujuan untuk mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir dan batin, menuju masyarakat makmur yang berkeadilan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, membutuhkan Kepemimpinan Pemerintahan yang berkualitas secara berkesinambungan yang mampu beradaptasi dengan perkembangan jaman secara aktual. Sehingga, aktualisasi Kepemimpinan Pemerintahan di segala tingkatan yang berwawasan global dan bertindak lokal serta memiliki wawasan yang jauh ke depan perubahan inilah yang diperlukan guna meningkatkan stabilitas politik dalam rangka mengatasi krisis nasional.
Pada umumnya kepemimpinan Nasiona Indonesia, suka maupun
tidak suka mayoritas diisi oleh elit partai politik, yang pada saat ini
keberadaannya sangat mengkhawatirkan, sehingga mengalami krisis
kepercayaan masyarakat yang diakibatkan dari pada tingkah laku para elit partai politik yang hanya memikirkan dirinya sendiri ataupun kelompoknya.
Diperlukannya penyelenggara negara untuk memiliki pedoman tentang landasan etika aparaturnya berkaitan dengan sifat kekuasaan yang cenderung menyeleweng, maka kekuasaan pemerintah dapat dibatasi melalui hukum dan etika.
Pada saat yang sama penyelenggara negara juga perlu komitmen yang kuat terhadap tugas yang diembannya sebagai amanah rakyat dengan ditingkatkannya moral untuk menjaga citra yang baik dihadapan masyarakat, dengan modal dasar kepribadian seperti itu, aparat penyelenggara dapat dibina lebih lanjut, agar membangun komitmen yang spesifik untuk mentaati nilai-nilai etika profesinya. Dengan kata lain, ketaatan etis tidaklah terbangun dalam kevakuman iman dan moral seseorang, ketaatan itu harus terbangun di atas landasan iman yang kuat dan moral yang tinggi. Juga perlu dipahami bahwa etika pemerintahan atau etika kepemimpinan nasional tidaklah berdiri sendiri, penegakannya terjalin erat dengan pelaksanaan prinsip negara hukum. Itulah sebabnya sebuah pemerintahan yang bersih, segala tingkah laku dan kebijakannya berangkat dan komitmen moral yang kuat, hanya bisa diharapkan dalam sebuah negara hukum.
Kepemimpinan pada hakekatnya merupakan tehnik atau gaya untuk menyelaraskan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpinnya. Juga
merupakan kemampuan seseorang untuk mengembangkan dirinya dalam jabatannya, yang menuntut adanya kemahiran dalam membaca situasi yang terjadi dalam organisasi dan lingkungannya, sehingga dapat diciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi kehidupan organisasi dalam mencapai tujuannya.
Untuk itu, kepentingan organisasilah yang menjadi kepentingan yang utama,
sehingga kepentingan pengawak organisasi, terutama kepentingan pemimpinnya, harus diselaraskan dengan kepentingan organisasi. Penyimpangan atau deviasi (deviation) antara kepentingan pemimpin organisasi dengan kepentingan organisasi atau kepentingan pemimpin dengan yang dipimpinnya, harus sekecil mungkin.
Proses panjang perjalanan sejarah suatu bangsa dalam rentang waktu
tertentu, pasti akan melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa dan
berdasarkan pola kepemimpinannya itulah arah perjalanan sebuah bangsa
akan ditentukan. Dengan kata lain, karena pada dasarnya sejarah suatu
bangsa dan negara juga akan berkisar pada sejarah dan pemimpin-pemimpinnya, maka kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam suatu negara dapat dipergunakan sebagai tolok ukur dari keberhasilan kepemimpinan pemerintahan di negara tersebut. Berdasarkan pengamatan dan penilalan dari para pakar pemerintahan, maka secara kualitatif kepemimpinan pemerintahan pada masa kini cenderung mengalami degradasi, hal tersebut dapat dilihat dari maraknya gejolak sosial yang timbul di dalam masyarakat pada akhir-akhir ini, yang dampaknya dapat dilihat dan dirasakan dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Mengamati kilas balik sejarah sejak Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pasang surut stabilitas politik mengakibatkan terjadinya berbagai krisis dalam kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya dalam proses pergantian kepemimpinan pemerintahan. Sehingga era kepemimpinan pemerintahan secara tegas terbagi-bagi sesuai dengan kepemimpinan yang berperan pada masa tersebut, yaitu Era Orde Lama atau Era Soekarno, Era Orde Baru atau Era Soeharto, Era Transisi atau Era Habibie, Era Reformasi atau Era Abdurrahman Wahid, Era Reformasi Gotong Royong atau Era Megawati dan Era Reformasi Indonesia Bersatu atau Susilo Bambang Yudoyono.
a. Era Orde Lama / Era Soekarno (1945 — 1966)
Perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah merupakan kelanjutan dari sikap dan keinginan pemuda dalam mewujudkan tanah air dan bangsa yang satu, yaitu Indonesia. Kemampuan elit kepemimpinan bangsa pada saat itu dalam menggerakkan rakyat demikian menonjol, sehingga menimbulkan rasa kesetiakawanan dan rela berkorban yang terpadu menjadi semangat juang yang sangat kokoh.
Melalui perjuangan yang panjang, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya dan membentuk pemerintahan negara Indonesia. Berdasarkan Undang Undang Dasar tahun 1945 yang di undangkan pada tanggal 18 Agustus 1945, maka bentuk negara kesatuan Indonesia adalah Republik dan Ir. Soekarno diangkat sebagai Presiden pertama dengan Wakil Presiden adalah Drs. Mohammad Hatta. Perangkat pemerintahan dengan sistem Presidensil dibentuk dan sebagai negara republik, maka kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh suatu badan yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang anggotanya terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai badan legislatif, juga terdiri wakil-wakil rakyat yang keanggotaannya ditentukan oleh Undang Undang.
Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan etika ideologi yang mendasari negara atau partai, sehingga sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok diterapkan pada era tersebut. Sifat kepemimpinan yang juga menonjol dan Ir. Soekarno adalah percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif dan inovatif serta kaya akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada puncak kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber inspirasi pergerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta pergerakan melepas ketergantungan dari negara-negara Barat (Amerika dan Eropa).
Berbagai gejolak di tanah air terjadi selama kepemimpinan Presiden Soekarno, akibat dari adanya kebhinekaan dan pluralitas masyarakat Indonesia serta ketidakpuasan memunculkan gerakan-gerakan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa melalui pemberontakan-pemberontakan yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), antara lain DI/TII, Permesta dan yang belum terselesaikan sampai dengan saat ini adalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Gerakan Papua Merdeka (GPM). Ir. Soekarno adalah pemimpin yang kharismatik, memiliki semangat pantang menyerah dan rela berkorban demi persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan bangsanya. Namun berdasarkan perjalanan sejarah kepemimpinannya, ciri kepemimpinan yang demikian ternyata mengarah pada figur sentral dan kultus individu. Menjelang akhir kepemimpinannya terjadi tindakan politik yang sangat bertentangan dengan UUD 1945, yaitu mengangkat Ketua MPR (S) juga sebagai Menteri, sehingga kedudukan Presiden berada di atas MPR (S).
b. Era Orde Baru / Era Soeharto (1966 - 1998)
Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir diganti dengan pemerintahan Era Orde Baru. Pada awalnya sifat-sifat kepemimpinan yang baik dan menonjol dari Presiden Soeharto adalah kesederhanaan, keberanian dan kemampuan dalam mengambil inisiatif dan keputusan, tahan menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi bahaya serta konsisten dengan segala keputusan yang ditetapkan. Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.
c. Era Transisi / Era Ha bible (1998 — 1999)
Lengsernya Presiden Soeharto ditandai dengan serah terima jabatan Presiden, dari Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden Prof. Dr. Ing. B.J Habibie pada Mei 1998. Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa pemerintahan Presiden Habibie hanyalah pemerintahan transisi yang bersifat sementara. Pemenintahan pada masa Presiden Habibie juga dianggap hanya lanjutan dari pemerintahan Orde Baru, karena masih mempunyai kaitan yang erat merupakan kroni dari mantan Presiden Soeharto.
Sebenarnya gaya kepemimpinan Presiden Habibie adalah gaya
kepemimpinan Dedikatif-Fasilitatif, merupakan sendi dan Kepemimpinan Demokratik. Pada masa pemerintahan B.J Habibie ini, kebebasan pers dibuka lebar-lebar sehingga melahirkan demokratisasi yang lebih besar. Pada saat itu pula peraturan-peraturan perundang-undangan banyak dibuat. Pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Setelah B.J Habibie turun, maka suatu pemilihan demokratis untuk pertama kalinya dalam tiga dasawarsa, terpilihlah duet K.H Abdurrahman Wahid-Megawati Sukarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan langsung di Majelis Permusyawaratan Rakyat.

d. Era Reformasi / Era Abdurrahman Wahid (1999 — 2001)
Melalui Poros Tengah, K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden RI ke empat dan Megawati Soekarnoputni sebagai Wakil Presiden ke delapan, walaupun Partainya Ibu Megawati, PDI-Perjuangan, adalah Partai pemenang Pemilu. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kepemimpinan Pemenintahan di Era Reformasi lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dari pada kekuasaan. Gaya kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid adalah gaya kepemimpinan Responsif-Akomodatif, yang berusaha untuk mengagregasikan semua kepentingan yang beraneka ragam yang diharapkan dapat dijadikan menjadi satu kesepakatan atau keputusan yang memihki keabsahan. Pelaksanaan dan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan diharapkan mampu menggerakkan partisipasi aktif para pelaksana di lapangan, karena merasa ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan atau kebijaksanaan.
Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan dari jabatannya, dilanjutkan dengan pemilihan dan pengangkatan Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI kelima serta pemilihan dan pengangkatan Hamzah Has sebagai Wakil Presiden kesembilan.
e. Era Reformasi Gotong Royong/ Era Megawati (2001 - 2004)
Sidang Istimewa MPR pada bulan Juli 2001 mengantarkan duet Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Has menduduki kursi kepresidenan dan Wakil Presiden, walaupun tanpa kehadiran dan persetujuan beberapa anggota Fraksi yang mendukung Dekrit yang dikeuarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Ibu Megawati yang pada pasca Pemilu 1999 yang lalu diragukan kemampuannya dalam memimpin negara, ternya mampu menyusun anggota Kabinet, yang dinamai Kabinet Gotong Royong, yang cukup representatif, di luar perkiraan sebagian besar masyarakat yang menduga bahwa Kabinet Megawati juga tidak akan jauh dari Kabinet Gus Dur atau Kabinet Reformasi yang sarat termuati oleh kompromi politik. Kabinet Gotong Royong belum memulai pekerjaannya, namun pasar sudah merespon positif, yaitu dengan menguatnya nilal tukar Rupiah dari kisaran di atas Rp. 10.000,- per Dollar Amerika menjadi di bawah Rp. 9.000,- dalam waktu yang relatif singkat. Apalagi dengan adanya kunjungan dari Perdana Menteri Australia yang sejak awal dari Era Reformasi selalu mengambil posisi yang berseberangan dengan Indonesia, khususnya dalam masalah Timor Timur. Undangan dari Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, semakin memperkuat legitimasi Presiden Megawati, baik di dalam negeri maupun dimata internasional.
Kepemimpinan Pemerintahan Era Presiden Megawati mampu membenahi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya dalam penegakkan hukum dan disiplin serta pemberantasan KKN di semua lapisan masyarakat guna meningkatkan stabilitas politik dalam rangka mengatasi krisis nasional.

f. Era Reformasi Indonesia Bersatu / Era SBY (2004 – sekarang)
Pasca pemilu langsung tahun 2004 yang menhasilkan duet kepemimpinan nasional SBY – JK dan Kabinet Indonesia Bersatu telah melakukan kebijaksanaan nasional dan landasan kerja guna membangun pemerintahan yang baik dan bebas KKN, melanjutkan reformasi birokrasi, dan mempercepat pemberantasan korupsi dalam rangka mewujudkan Indonesia yang ADAM (Aman dan Damai), ADEM (Adil dan Demokrasi), dan BAHTERA (Tambah Sejahtera) dengan lima agenda utama, yaitu : Peace, Justice, Democracy dan Prosperity (Perpres No. 7/2005), serta mewujudkan Good Govermance dan Clean Government.
Implementasi kebijakan di atas direalisasikan dengan diterbitkannya Instruksi Presiden RI No 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi dan keputusan presiden RI Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIMTAS TIPIKOR).
Strategi kebijakan untuk mewujudkan Good Governance pada dasarnya mengacu kepada Asas-asas kepemerintahan yang baik. Asas-asas kepemerintahan yang baik terdiri dari 13 butir yaitu: asas kepastian hukum, asas keseimbangan, asas kesamaan, asas bertindak cermat, asas motivasi, asas jangan mencampur adukkan kewenangan, asas permainan yang layak, asas keadilan dan kewajaran, asas menanggapai pengharapan yang wajar, asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal, asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi, asas kebijaksanaan dan asas penyelenggaraan.
Menurut UNDP (1997) Strategi kepemimpinan untuk mewujudkan Good Governance mengacu kepada dasar-dasar kepemerintahan yang baik yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Partisipasi, setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam proses pengambilan keputusan, dan memiliki kebebasan berpendapat dan berserikat secara konstruktif.
2. Aturan hukum (rule of law), hukum dan keadilan harus ditegakkan tanpa diskriminatif.
3. Transparansi, berbagai proses kelembagaan dapat diakses secara bebas oleh mereka yang membutuhkan.
4. Daya tanggap (responsiveness), setiap institusi dan prosesnya harus diupayakan untuk melayani stakeholders.
5. Birokrasi konsensus, pemerintah bertindak sebagai mediator bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus.
6. Berkeadilan (equity), memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk memelihara dan meningkatkan kualitas hidupnya.
7. Efektivitas dan efisiensi, setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya atas berbagai sumber daya yang tersedia.
8. Akuntabilitas (accountability), semua elemen masyarakat (negara, swasta, dan masyarakat madani) harus membuat pertanggungjawaban kepada publik.
9. Bervisi strategis, para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan berjangka panjang terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pembangungan manusia dan lingkungan.
10. Saling keterkaitan (interrelated), keseluruhan prinsip-prinsip di atas harus bersinergi dan saling terkait (mutally reinforcing) dan tidak bisa berdiri sendiri.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan tingkah laku politik Kepemimpinan Pemerintahan adalah lemahnya kesadaran hukum, kurangnya komunikasi politik, latar belakang pendidikan yang kurang memadai serta kurangnya koordinasi antara Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
Perjalanan sejarah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaannya selalu diwarnai dengan pasang surutnya kehidupan politik yang berdampak kepada stabilitas politik. Merosotnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam bentuk krisis nasional bersumber dari aktualisasi Kepemimpinan Pemerintahan yang tidak sesuai dengan moral dan etika Kepemimpinan Pemerintahan yang berdasarkan Pancasila, antara lain:
1) Lemahnya aktualisasi Kepemimpinan Pemerintahan yang mampu meningkatkan stabilitas politik.
2) Tidak konsistennya penegakan moral dan etika Kepemimpinan Pemerintahan.
Untuk seorang pemimpin negara bangsa “nation state” akseptabilitas itu menyangkut sejauh mana ia mampu mengelola dukungan sumber daya politik baik secara legal maupun aktual. Dalam kondisi Indonesia dewasa ini dukungan sumber daya politik, yang penting untuk dikelola meliputi dukungan politik DPR/Partai politik, kelompok Islam, militer, pelaku usaha, LSM dan dunia internasional. Tanpa mampu mengimplementasikan unsur-unsur sumber daya politik tersebut, seorang pemimpin akan mudah digoyang dalam menjalankan peran dan fungsi kepemimpinannya yang pada akhirnya akan mengganggu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bagi seorang pemimpin, ada lima inti kredibilitas yang digolongkan sebagai lima C dan meliputi “Conviction, Character, Courage, Composure” dan Competence” (Steven M. Bomstain dan Anthony F. Sands, The Puzzle of Leadership”, dalam Frances Hasselbein, 1996, “Leader of The Future”, The Dracer Foundation, New York) “Conviction” diwujudkan dalam bentuk keyakinan dan komitmen. Character” dicerminkan dalam bentuk integritas, kejujuran, respek dan kepercayaan yang konsisten. “Courage” adalah wujud dari keberanian dan kemauan untuk bertanggung jawab atas keyakinannya, bahkan kalau perlu berani untuk merubah diri. ”Composure” merupakan cerminan dan ketenangan batin, berupa kemampuan untuk memberikan reaksi dan emosi yang tepat dan konsisten dalam menghadapi situasi yang kritis “competence” adalah wujud dari keahlian, keterampilan dan profesionalitas. Untuk pemimpin suatu negara bangsa khususnya Indonesia, lima inti kredibilitas tersebut masih harus dilengkapi dengan dua hal yaitu memiliki visi jauh ke depan atau disebut Visioner dan memiliki sistem nilai yang berakar kepada budaya dan filosofi bangsa Indonesia.
Sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang kita alami selama ini. kita telah memetik pelajaran bahwa yang menjadi akar penyebab awalnya adalah kurang berjalannya sistem pemerintahan yang demokratis. Segala sesuatunya berjalan sekedar sebagai proses formalitas. Ada badan-badan permusyawaratan dan perwakilan rakyat, tetapi keberadaannya lebih bersifat formal institusional dari pada substansional dengan jiwa dan semangat UUD 1945.
Birokrasi publik dan pemerintahan adalah satu paket. Kini, hampir seluruh pemerintahan di dunia mengalami reformasi dan reorganisasi. Hal ini misalnya dibuktikan dengan karya Samuel P. Huntington mengenai gelombang demokratisasi yang tiga gelombang itu. Di dalam karya tersebut, Huntington menyebutkan Negara-negara di dunia mengalami aneka perubahan dari eksklusivitas, inklusivitas, dan kadang kembali berbalik ke arah eksklusivitas kembali. Dalam perubahan-perubahan tersebut, birokrasi selaku “mesin” pemerintah yang mengimplementasikan kebijakan “harian” Negara juga mengalami perubahan.

Persoalan umum yang dihadapi birokrasi publik, terkait masalah demokrasi, adalah efesiensi/inefisiensi dan ketidakmampuan pemerintahan me-manage dirinya selaku sebuah organisasi. Persoalan umum lain Negara demokratis adalah, bagaimana memperkuat kapasitas pemerintah dalam memproses tuntutan dari warganegara serta responsivitas mereka.1
Potret Indonesia

Dalam menghadapi persoalan ini, kerap pemerintah di setiap Negara menerapkan apa yang dinamakan New Public Management (NPM).2 NPM adalah pelembagaan teknik-teknik manajemen yang membuat sektor publik atau birokrasi Negara berfungsi layaknya perusahaan swasta, seraya menekankan peran pemerintah selaku penyedia jasa kepada para “pelanggannya.” Dalam NPM, warganegara diposisikan layaknya “customer” yang dapat memilih layanan-layanan tertentu yang akan mereka terima dari pemerintah.

Selain penerapan NPM, upaya lain guna mengefektifkan layanan pemerintah kepada warganegara adalah pelibatan publik secara lebih langsung dalam memerintah dan memilih kebijakan. Ini misalnya terjadi di Amerika Serikat seperti yang dilaporkan National Performance Review tahun 1993. Di sana, pelibatan publik ini dilakukan dengan cara penguatan kapasitas warganegara biasa dan eselon birokrasi tingkat bawah untuk mempengaruhi kebijakan dan gaya administrasi pemerintahan. Di Kanada, sebuah program bertajuk PS 2000 dan Program for Citizen Engagement juga senada, yaitu memberi kesempatan yang lebih besar kepada warganegara untuk terlibat secara aktif di sektor publik.

Governing dan Governance

Kajian Birokrasi Publik dan Pemerintahan menjadi lebih menarik dikaji jika dibedakan terlebih dulu dua konsep berikut, yaitu Governing (mengatur) dan Governance (memerintah). Governance memiliki nama lain “empowerment” (pemberdayaan) dan “participatory governing” (pemerintahan yang partisipatif). Logika dasar dari governance adalah partisipasi yang lebih besar dari warganegara dalam menyusun dan melaksanan kebijakan akan mempertinggi kualitas pemerintahan. Logika ini didasarkan pada asumsi demokrasi dan efisiensi administrasi Negara.

Asumsi demokrasi menggariskan publik harus punya pengaruh yang lebih besar atas setiap kebijakan yang mengatasnamakan mereka. Dalam demokrasi representatif memang sudah ada pengaruh ini, tetapi hanya secara periodik di dalam pemilu saja. Selain itu, administrasi publik pun dapat lebih didemokratiskan sehingga rata-rata pekerja sektor publik dapat menentukan sifat pekerjaan mereka serta pengaturan kebijakan di dalam organisasi secara keseluruhan.

Sementara itu, logika administrasi menyebutkan bahwa berdasarkan literatur manajemen, jika suatu organisasi dapat dibuat jadi lebih terbuka dan partisipatif, para pekerja akan lebih termotivasi dalam menginvestasikan waktu dan energi mereka demi organisasi. Eselon birokrasi tingkat bawah punya kumpulan informasi seputar “klien” (warganegara) yang mereka beri pelayanan, sehingga mereka tentu tahu kebutuhan dasar mereka. Jika mereka (para eselon bawah ini) diberikan kesempatan berimprovisasi, maka performasi birokrasi Negara secara otomatis akan menaik.

Trust dan Legitimasi. Masalah dasar dari birokrasi publik adalah “trust” (kepercayaan) dan “legitimacy” (keabsahan). Kini telah meruyak kabar seputar ketidakpercayaan masyarakat atas birokrasi Negara. Korupsi, rente, kelambanan, merupakan beberapa keluhan di antaranya. Dengan kata lain, trus warganegara atas birokrasi Negara berada dalam titik rendah. Warganegara pun merasa “tidak percaya diri” ketika berhadapan dengan birokrasi Negara, yang salah satunya diakibatkan ketiadaan “trust” ini.

Hilangnya “trust” juga merupakan hasil dari ketidakmampuan warganegara dalam menentukan pola kebijakan pemerintah. Sebab itu, sebagai jalan keluar, perlu dibangun sarana pelibatan dan pemberdayaan warganegara yang mampu menutupi hilangnya “trus” ini.

Di sisi lain, “legitimasi” pun menjadi masalah tersendiri. Legitimasi berkait dengan masalah pentingnya masyarakat sipil dalam pemerintahan. Asumsinya adalah, agar efektif secara demokratis, pemerintahan harus didukung keterlibatan aktif dari masyarakat sipil.3 Ketika pemerintah memberdayakan keterlibatan kelompok-kelompok sipil dalam pemerintahan, secara otomatis legitimasi mereka akan meningkat. Aktor-aktor masyarakat sipil perlu diajak ikut serta dalam menentukan kebijakan publik.

“Governing” dan “Governance” secara asal bahasa berkait dengan bagaimana mengatur dan mengendalikan sesuatu. Tatkala pemerintah hendak mencapai tujuannya, mereka harus sadar konsekuensi-konsekuensi dari tindakan sebelumnya seraya menggunakan feedback-feedback yang muncul dari lingkungan selaku bahan baku (input) kebijakan kemudian.

Pola “mengatur” atau “governing” tradisional ditandai dengan konsenstrasi otoritas yang hirarkis dan ditentukan dari pusat pemerintahan. Dalam Negara demokratis, otoritas itu dihasilkan lewat mekanisme pemilu, sementara di Negara-negara nondemokratis, otoritas datang dari kendali pemerintah atas instrument-instrumen kekuatan di dalam masyarakat. Baik di Negara demokratis maupun nondemokratis, birokrasi publik dikonseptualisasi sebagai bertanggung jawab pada “political masters” mereka, sementara para staf birokrasi publiknya bercorak hirarkis dan bersifat politis.

Tata cara “governing” seperti ini kemudian direformasi lewat NPM (New Public Management). NPM bercara pandang neo-liberal. NPM cenderung mengurangi posisi dominan dari para politisi dalam birokrasi publik. Kerap dalam NPM ini, manager publik (para kepala badan birokrasi) diambil dari kalangan “luar” pemerintahan dengan tujuan mengaplikasikan tata cara baru dalam melakukan pengaturan (governing). Mereka dapat saja diambil dari direktur-direktur perusahaan swasta, praktisi, akademisi, ataupun organisasi-organisasi LSM. Posisi para kepala ini bukan sekadar kepala birokrasi publik tetapi juga “policy entrepreneur” (wirausahawan kebijakan). Sebab itu, kriteria unggulan dalam NPM adalah pada performa bukan lagi pada kriteria politik.

Di Indonesia dapat kita ambil contoh perekrutan Riny Suwandi (Direktur PT. Astra) selaku Menteri Perdagangan atau Sri Mulyani Indrawati (akademisi) selaku Menteri Keuangan. Upaya-upaya ini dilakukan pemerintah demi mengambil perspektif masyarakat sipil dan professional dalam melakukan penataan kehidupan birokrasi publik. Namun, peralihan otoritas menuju para manager ini bukan tanpa risiko. Terkadang terjadi masalah koordinasi dan koherensi kebijakan di kalangan pemerintah sendiri.

“Governance” atau “memerintah bersama” merupakan pendekatan alternative atas “governing” atau tepatnya, administrasi Negara. Governance hakikatnya adalah pelibatan masyarakat secara lebih besar dalam melakukan “governing”. Governance berupaya mengurangi aspek hirarki dalam sistem administrasi Negara. Masalah hirarki ini kerap dicurigai sebagai penyebab hilangnya “orang-orang berbakat” di dalam pemerintahan dan mengasingkat publik.

Dalam konsep “governance”, masalah jaringan atau “network” menempati posisi penting. Network merupakan komponen sentral dalam kerangka “governance.” Asumsi dasarnya adalah, suatu kebijakan lahir akibat pengaruh aneka organisasi sipil, actor sipil, ataupun lembaga-lembaga pemerintah. Interaksi antarkomponen inilah yang kemudian membentuk “network” suatu kebijakan pemerintah.

Network ini diasumsikan mampu mengatur diri sendiri dan mampu membuat serta mengimplementasikan keputusan atas diri mereka. Network ini menyediakan link antara Negara dengan masyarakat. Namun, ia berbeda dengan hubungan di dalam perusahaan atau korporasi. Dalam “governance network” ini, hubungan lebih bersifat otonom dan bahkan mampu mengesampingkan Negara ketimbang melayaninya.

Network ini dapat berupa struktur terbuka yang akan mengakomodasikan luasnya cara pandang dan pula melibatkan partai-partai politik. Di sisi lain, network ini pun dapat berupa struktur tertutup yang hanya terdiri atas keanggotaan dari mereka-mereka yang punya skill atau pengetahuan tertentu. Ketertutupan ini pun ditandai dengan spesifikasi mereka untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan tertentu saja.

Jika NPM hanya mengupayakan desentralisasi implementasi kebijakan, maka “governance” justru mengupayakan pembuatan kebijakan dalam cara yang lebih terdesentralisasi. Dalam “governance” hirarki organisasi lebih bersifat datar dan bersifat bottom-up, ketimbang di NPM yang top-down.

Governance dan Demokrasi

Dalam pengertian umum demokrasi perwakilan, warganegara terlibat dalam penentuan kebijakan hanya secara periodik, di waktu pemilu saja. Kini, lewat konsep “governance” keterlibatan warganegara hendak dilakukan setiap saat. Warganegara dapat terlibat dalam penentuan kebijakan dan cara pelaksanaannya melalui serangkaian aktivitas yang menghubungkan publik pada pemerintah.

Lewat konsepsi “governance” terjadi peralihan lokus keterlibatan publik, dari sekadar input (pemilu) menjadi output (penentuan kebijakan dan pelaksanaannya). Pemerintah dalam persepsi NPM legitimasinya berada dalam hal output mereka atas “customer” (warganegara). Dalam “governance” terdapat lebih elemen demokrasi dan politik yang terlibat dalam legitimasi. Namun, legitimasi politik tersebut bukan berasal dari partai politik dan caleg terpilih, tetapi lebih diturunkan dari kontak-kontak langsung antara warganegara dengan pemerintah, khususnya dengan birokrasi-birokrasi pemerintah. Ini atas asumsi, warganegara lebih banyak bersentuhan dengan para birokrat ketimbang caleg terpilih mereka.

Pada sisi lebih lanjut, kontak-kontak yang terjalin antara warganegara dengan birokrat akan mendorong terbentuknya “trust” dalam sistem pemerintahan dan atas pemerintah itu sendiri. Interaksi ini terjalin juga antara kelompok-kelompok sosial masyarakat dengan pemerintah, yang jika berjalan dengan harmonis, akan mendorong terbentuknya citra positif atas pemerintah.

Governance dan Efektivitas

Demokratisasi dan legitimasi adalah pendekatan dasar memerintah di dalam administrasi Negara. Kendati hirarki merupakan suatu kebutuhan dalam memanage sejumlah besar orang dengan ragam pekerjaan, tetapi model manajemen partisipatif diyakini dapat memuncul efektivitas hasil yang lebih besar lagi. Keterlibatan klien dan publik diyakini punya konsekuensi yang positif pada program-program publik. Efektivitas ini datang dari pengerjaan tugas secara bersama lewat organisasi-organisasi jaringan (network).

Salah satu kelebihan dari jaringan organisasi ini adalah terlibatnya birokrat di lini depan dalam pembuatan keputusan. Jadi, tatkala suatu masalah muncul dan diidentifikasi sumber dan solusinya, dengan bantuan organisasi-organisasi masyarakat sipil, birokrat lini depan langsung mengambil inisiatif tindakan. Keputusan yang diambil punya nilai legitimasi karena melibatkan organisasi publik nonpemerintah.

Pem-bypass-an pengambilan keputusan ini mampu menembus kerumitan pembuatan kebijakan baru yang melanda hirarki pembuatan keputusan birokrasi secara tradisional. Tentu saja, masalah yang kemudian muncul adalah integrasi antar kebijakan dan struktur lini birokrasi yang berbeda-beda. Namun, jika ditinjau dari sisi efektivitas, maka cara pembuatan di lini cukup cepat. Tentu saja tanpa menghilangkan derajat integrasi antar kebijakan itu.

Salah satu unsur penting dalam efektivitas ini adalah responsivitas. Responsivitas adalah kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-program pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.4 Responsivitas ini berkait erat dengan actor yang mempengaruhi pembuatan keputusan dan pelaksanaannya. Pertama, birokrat di tingkat lini secara otomatis lebih mengetahui problem masyarakat akibat ia bersentuhan langsung. Kedua, elemen masyarakat (biasanya organisasi kemasyarakatan) merupakan saluran masyarakat dalam menghadapi Negara, yang harus dilibatkan dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan.
PEMERINTAHAN DAERAH DILIHAT DARI BEBERAPA ASPEK: KEUANGAN, BIROKRASI, ETIKA  DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN 
Salah satu unsur reformasi adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan pemerintah daerah dalam mengembangkan otonomi tersebut. Pertama, pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Kedua, pemerintah daerah perlu mengembangkan birokrasi  yang sehat dan memiliki wawasan dan jiwa wirausaha. Ketiga, prinsip kepatutan dalam pemerintahan yang  tidak terlepas dari kewajiban etika dan moral serta budaya baik antara pemerintah dengan rakyat, antara lembaga/pejabat pemerintahan dengan pihak ketiga. Keempat, partisipasi masyarakat dalam pembangunan sehingga pemerintah daerah mendapat  petunjuk mengenai kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Keywords:  Pemerintahan daerah, keuangan dan anggaran daerah, birokrasi, etika dan partisipasi masyarakat. 
A. Tuntutan Otonomi Daerah
Krisis ekonomi dan kepercayaan telah membuka jalan untuk melakukan reformasi total di seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia. Tema sentralnya adalah mewujudkan masyarakat madani, terciptanya good governance, dan mengembangkan model pembangunan yang berkeadilan. Di samping itu, reformasi ini telah juga memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses pengembangan dan modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaruan paradigma di berbagai bidang kehidupan.
Salah satu unsur reformasi adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Tuntutan ini dinilai wajar, paling tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di Indonesia. Arahan dan statutory requirement yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan, bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Besarnya arahan dari pemerintah pusat itu didasarkan pada dua alasan utama, yaitu untuk menjamin stabilitas nasional, dan karena kondisi sumber daya daerah yang dirasa masih relatif lemah. Karena dua alasan ini, sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya pandangan ini terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya, Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang mantap. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi seperti itu telah memunculkan masalah rendahnya akuntabilitas, memperlambat pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik serta memperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah.
Kedua, tuntutan pemberian otonomi ini juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa yang akan datang. Di era seperti ini, globalization cascade sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan  internasional, informasi dan ide serta transaksi keuangan. Di masa depan, pemerintah sudah terlalu besar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Untuk menghadapi krisis ekonomi dan kepercayaan serta era new game yang penuh dengan new rules tersebut, dibutuhkan new strategy. Strategi itu adalah penyelenggaraan otonomi daerah. Misi utamanya adalah desentralisasi. Secara teoritis, desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreatifitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan atau kebijakan publik ke tingkat pemerintah yang lebih paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap. (Mardiasmo, 2004: 3-6)
Pengembangan otonomi pada daerah kabupaten dan kota diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian dan pemanfaatan dan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan dan perkembangan otonomi daerah pada era globalisasi adalah:
  1. Adanya transformasi kehidupan, seperti dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.
  2. Ekonomi nasional menjadi ekonomi dunia. Dinamika ekonomi nasional sangat erat terkait dengan gerak ekonomi negara lain. 
  3. Lembaga bantuan menjadi lembaga penolong dirinya sendiri
  4. Demokrasi perwakilan menjadi demokrasi partisipasi.
  5. Susunan hirarki organisasi menjadi jaringan kerja
            Kecenderungan tersebut telah menggejala pada masyarakat Indonesia, seperti pengaruh negatif dari masyarakat informatif yaitu meluasnya sikap konsumerisme dan tersingkirnya nilai budaya lokal. Menurunnya nilai rupiah terhadap nilai uang negara lain (khususnya dolar AS) yang menyebabkan kegiatan ekonomi masyarakat menjadi terpengaruh.
            Selain itu, kelembagaan-kelembagaan pun terpengaruh. Kelembagaan pemerintahan dan kelembagaan kepentingan masyarakat yang lain tidak lagi sepenuhnya dapat melayani kebutuhan masyarakat, tetapi menjadi lembaga yang menyebabkan individunya menolong diri sendiri. Lembaga hanya berfungsi sebagai fasilitator. Individunya yang lebih aktif. Tuntutan partisipasi masyarakat terhadap kebijakan publik semakin kuat sehingga apabila tidak diikutsertakan sering menimbulkan konflik.
            Keterkaitan individu selain sebagai warga negara yang melekat hak asasi manusia kepadanya, terkait juga dengan masyarakat di negara-negara lain akan melahirkan masyarakat internasional. Akibatnya terjadi individualisasi, internasionalisasi, sosialisasi dan humanisasi. Timbul budaya global dan kesadaran global sehingga terjadi hubungan sistematik, kontraksi, sifat reflektif (tumbuh kesadaran dan kemanusiaan) terhadap sekat pembatas ruang dan waktu, sehingga timbul serba muka antara resiko dan kenyataan. ( Dharma Setyawan Salam, 2004: 207-208)
            Sebagai manajer pemerintahan, pemerintahan daerah kabupaten dan kota mempunyai peranan yang besar dalam mentransformasikan perubahan yang menggambarkan perpaduan antara kenyataan yang ada dalam masyarakat dengan kebijaksanaan politik yang dikeluarkan pemerintah.
            Manajemen pemerintahan daerah dapat digerakkan dengan menempatkan budaya paternalistik pemimpin dengan memiliki:
  1. Wawasan global (global mind set)
  2. Peka terhadap perubahan yang cepat dan sistematik
  3. Kemampuan manajemen konflik
  4. Lebih menghargai proses organisasi daripada struktur hirarki formal
  5. Toleransi terhadap multikultural dan keragaman, luwes dan peka, tetapi memiliki identitas pribadi yang kuat
  6. Kemampuan memanfaatkan perubahan sosial budaya
  7. Terus menerus mempertajam keabsahan paradigma dalam berbagai kondisi sosial budaya (sui generis)
  8. Kemampuan menyusun skala prioritas secara terpadu yang berbentuk jaringan (Dharma Setyawan Salam, 2004: 212-213)
B.   Pengelolaan Keuangan dan Anggaran Daerah
Salah satu aspek pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran daerah atau anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otoritasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktifitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktifitas atau program yang menjadi prioritas dan prefernsi daerah yang bersangkutan.
Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut:
  1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah.
  2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.
  3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan  perangkat daerah lainnya.
  4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas.
  5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH dan PNS-daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya.
  6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan.
  7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional.
  8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, dan akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
  9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.
10.  Pengembangan sistem informasi keuangan untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian serta mempermudah mendapat informasi (Mardiasmo, 2004: 9-10)
Adapun dimensi keuangan daerah yang perlu diperhatikan adalah:
1) Kewenangan daerah dalam pemanfaatan dana perimbangan keuangan
2) Prinsip pengelolaan anggaran
3) Prinsip penggunaan pinjaman dan deficit spending.
4) Strategi pembiayaan (Mardiasmo, 2004: 26)
            Dalam rangka otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diberi keleluasaan (diskresi) untuk mengelola dan memanfaatkan sumber penerimaan daerah yang dimilikinya sesuai dengan aspirasi masyarakat daerah. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan daerah tersebut agar tidak mengalami defisit fiskal.
            Prinsip manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah tersebut meliputi:
1) Akuntabilitas
            Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berprilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk ini, perumusan kebijakan bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal secara baik.
2) Value for Money
Dalam konteks otonomi daerah, value for money merupakan jembatan untuk menghantarkan pemerintah daerah mencapai good governance. Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik (public money) yang mendasarkan konsep value for money, maka diperlukan Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah dan Anggaran Daerah yang baik. Hal tersebut dapat tercapai apabila pemerintah daerah memiliki sistem akuntasi yang baik.
3) Kejujuran dalam Pengelolaan Keuangan Publik (Probity)
            Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan 
4) Transparansi
            Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat setempat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
5) Pengendalian
            Penerimaan dan pengeluaran daerah (APBD) harus sering dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu diperlukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke depan (Mardiasmo, 2004: 29-30).
C.   Birokrasi
Era new game juga mengharuskan pemerintah daerah untuk mempersiapkan diri secara institusional. Salah satunya adalah dengan mengembangkan lembaganya sebagai lembaga yang memiliki birokrasi yang sehat dan memiliki wawasan dan jiwa wirausaha. Kesan umum terhadap kinerja birokrasi oleh masyarakat senantiasa dikaitkan dengan segala sesuatu yang serba lambarn, lamban dan berbelit-belit serta formalitas. Dalam penyelesaian urusan kinerja birokrasi selalu mendapatkan hambatan yang memakan waktu, sehingga selalu tertunda penyelesaiannya. Sebenarnya, dengan birokrasi tugas-tugas yang diberikan adalah lebih teratur dan lebih tertib sehingga tidak diharapkan akan terjadi hambatan atau penundaan.
Arus otonomi semakin membuka pandangan baru bagi kinerja birokrasi, dalam rangka mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikan kesan awal mulai berubah dengan kinerja setelah memahami birokrasi yang dirasakan mempunyai fungsi yang positif. Perubahan kinerja ini menjadi suatu kenyataan yang bersifat imperatif.
Masyarakat yang dinamis telah berkembang dalam berbagai kegiatan yang semakin membutuhkan tenaga-tenaga yang profesional. Seiring dengan dinamika masyarakatdan perkembangannya, kebutuhan akan pelayanan semakin komplek serata pelayanan yang semakin baik, cepat dan tepat, termasuk kinerja birokrasi yang semakin baik pula dalam pelaksanaan otonomi daerah.
 Birokrasi yang berada di tengah-tengah masyarakat dinamis tersebut tidak dapat tinggal diam, tetapi harus mampu memberikan berbagai kebutuhan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini perlu mendapat perhatian birokrasi dalam mengantisipasi akan kebutuhan pelayanan tersebut:
  1. Sifat pendekatan tugas, lebih mengarah kepada pengayoman dan pelayanan masyarakat, bukan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
  2. Penyempurnaan organisasi, efisien, efektif dan profesional.
  3. Sistem dan prosedur kerja cepat, tepat dan akurat.
Birokrasi  modern tidak lagi berfikir bagaimana membelanjakan dana yang tersedia dalam anggaran, tetapi bagaimana membelanjakan anggaran yang terbatas seefisien mungkin, dan memanfaatkan apa yang diperoleh dari hasilnya.
Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan efesiensi dan profesionalisme birokrasi. Hal ini sangat penting dilakukan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan lingkungan yang akan terjadi. Pemerintah daerah perlu memperbaiki mekanisme rekruitmen pegawai negeri, memperbaiki reward and punishment system, meningkatkan gaji dan kesejehteraan pegawai serta mengubah kultur organisasi (Mardiasmo, 2004: 16).
Iklim yang kompetitif memaksa suatu masyarakat atau bangsa untuk mengembangkan kemampuannya untuk bisa ikut serta dalam persaingan yang ketat. Upaya pengembangan diri ini di satu sisi ditentukan oleh kemauan politik melalui pengambilan kebijaksanaan secara tepat. Di sisi lain, pelaksanaannya dipengaruhi oleh kehidupan sosial budaya masyarakat yang bersangkutan.
            Dengan demikian, meskipun pemerintahan nasional masih memegang peranan kekuasaaan manajerial pemerintahan negara yang besar, namun keefektifan dan keefisienan manajemen pemerintahan secara nasional sangat dipengaruhi oleh kemampuan manajemen pemerintahan tingkat bawahnya yaitu propinsi, terutama kabupaten dan kota. Hal ini dikarenakan pemerintahan kabupaten dan kota yang secara langsung mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam ikatan sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Politik pembangunan nasional yang berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi pada masa orde baru belum sepenuhnya menguntungkan rakyat Indonesia. Politik pembangunan orde baru telah menciptakan pola hubungan negara-masyarakat (Zero Sum). Kekuatan negara yang sangat besar berhadapan dengan kekuatan masyarakat sipil yang sangat lemah. Pola tersebut telah menimbulkan dampak negatif yang sangat menghambat perkembangan demokrasi. Terjadinya hal tersebut dikarenakan birokrasi yang sangat represif, otoritarian, sentralistik, korup dan manipulatif.
            Pada hakikatnya dasar pemikiran otonomi daerah adalah pelimpahan wewenang dari manajemen pemerintahan tingkat atas kepada manajemen pemerintahan tingkat bawah. Tujuannya adalah untuk mencapai penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang efektif dan efisien. Hal ini merupakan hasil  dari pelaksanaan otonomi daerah selama 25 tahun melalui Undang-Undang no 5 tahun 1974 yang menunjukkan bahwa upaya penyelenggaraan manajemen pemerintahan belum dapat  mencapai hasil yang efektif dan efisien dalam kerangka UUD 1945. ( Dharma Setyawan Salam, 2004: 205-206)
Undang-undang No 32 tahun 2004 mengisyaratkan adanya prinsip pemberian otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen pemerintahan daerah dan pelayanan masyarakat sebagai daerah otonom. Daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban masyarakat.
Hal ini berarti undang-undang tersebut menunjuk kepada manajemen pemerintahan yang bertumpu pada nilai demokrasi, pemberdayaan, dan pelayanan. Bentuknya adalah keleluasaan dalam mengambil keputusan yang terbaik dalam batas-batas kewenangannya agar seluruh kompetensi yang dimiliki selalu berkembang dalam mendukung kualitas pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat.
Pemerintah daerah diharapkan lebih siap dalam menyongsong setiap perubahan yang akan terjadi. Nilai demokrasi memberi ruang yang lebih luas kepada masyarakat (warga negara) dalam menentukan pilihan dan mengeksperesikan diri secara rasional. Dominasi kekuatan negara dalam menentukan pilihan publik sudah semakin berkurang. Aparatur pemerintah tidak harus selalu melaksanakan sendiri pekerjaannya, tetapi justru lebih banyak bersifat mengarahkan atau memilih kombinasi yang paling optimal antara melaksanakan atau mengarahkan. Hal yang sudah bisa dilaksanakan oleh masyarakat hendaknya tetap diserahkan kepada masyarakat, pemerintah cukup melakukan upaya pemberdayaan atau meningkatkan kemampuannya.
Gaya menajemen pemerintahan wirausaha dapat diterapkan untuk mencapai pemerintahan daerah yang efektif dengan bercirikan:
  1. Pemerintahan daerah lebih memutuskan perhatian kepada upaya pengaturan dan pengendalian daripada sebagai pelaksanaan langsung pekerja publik
  2. Pemerintah daerah mendorong kompetensi antar pemberi jasa .
  3. Adanya pengawasan dari masyarakat atas birokrasi
  4. Mengukur kinerja dengan memusatkan kepada hasil, bukan masukan
  5. Manajemen digerakkan oleh tujuan (misi) bukan oleh ketentuan dan peraturan.
  6. Meninjau kembali status masyarakat sebagai obyek pembangunan dengan menawarkan kepada mereka banyak pilihan baik secara kuantitas maupun kualitas
  7. Berusaha mencegah masalah sebelum muncul
  8. Berusaha untuk memperoleh uang, tidak hanya membelanjakannya
  9. Melaksanakan manajemen partisipatif dalam birokrasi
10.  Lebih menyukai mekanisme pasar daripada mekanisme birokrasi. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 213-216)
Pendapat yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh sejumlah ilmuwan di bidang manajemen dan administrasi publik seperti Osborne dan Gaebler (1992) dengan konsepnya “reinventing government” yang sangat monumental.
            Keberhasilan manajemen pemerintahan daerah dalam menyongsong otonomi daerah sangat tergantung kepada kemampuannya untuk memanfaatkan kebijakan otonomi daerah sebagai daya penambah kekuatan untuk mengatur dan menggerakkan segenap sumber daya organisasi yang ada, baik stuktur organisasi maupun arah dan gaya kebijakan.
            Transformasi sosial-budaya dapat menciptakan iklim manajemen pemerintahan daerah yang efektif dan luwes dan proaktif terhadap dinamika perubahan dalam masyarakat (lokal, nasional, regional dan internasional) bekerjasama dengan pemerintah nasional dan pemerintah propinsi, termasuk pemerintah daerah kabupaten dan kota di dalamnya, serta organisasi lain yang berhubungan dengan pembangunan daerah baik secara langsung maupun tidak langsung.
            Pelayanan umum (publik) perlu alokasi yang lebih adil selaras dengan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Hal ini menunjuk kepada perlunya manajemen pemerintah daerah kabupaten yang lebih efektif mengandung misi pelayanan yang prima dan aspiratif yang menjamin kebebasan, keterbukaan dan pendelegasian wewenang yang proporsional. Aparatur pemerintah yang memiliki insight, imajinasi dan inovasi tinggi sangat diperlukan agar pemerintah daerah mampu berbuat yang semula dianggap tidak mungkin menjadi mungkin.
D.   Etika Politik dan Pemerintahan
            Dari segi etika, pemerintahan adalah perbuatan atau kegiatan yang erat kaitannya dengan manusia dan kemanusiaan. Karena itu perbuatan pemerintahan tidak terlepas dari kewajiban etika dan moral serta budaya baik antara pemerintah dengan rakyat, antara lembaga/pejabat pemerintahan dengan pihak ketiga. Perbuatan semacam ini biasanya disebut prinsip kepatutan dalam pemerintahan dengan pendekatan moral sebagai dasar berpikir dan bertindak. Prinsip kepatutan ini menjadi landasan etis bagi pejabat dan lembaga pemerintahan dalam melaksanakan tugas kepemerintahan.
            Etika pemerintahan tersebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara dalam selaku manusia sosial. Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam etika kepemerintahan adalah:
1)      Penghormatan terhadap hidup manusia dan hak asasi manusia lainnya.
2)      Kejujuran (honesty) baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya.
3)      Keadilan (justice) dan kepantasan, merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.
4)      Fortitude, yaitu kekuatan moral, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan dan nasib.
5)      Temperance, yaitu kesederhanaan dan pengendalian diri
6)      Nilai-nilai adama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar umat manusia harus bertindak secara profesional dan bekerja keras.
Karena pemerintahan itu sendiri menyangkut pencapaian tujuan negara (dimensi politis), maka dalam perkembangannya etika pemerintahan tersebut berkaitan dengan etika politik. Etika politik subjeknya adalah negara, sedangkan etika pemerintahan subjeknya adalah pejabat dan para pegawai.
Etika politik berhubungan dengan dimensi politik kehidupan manusia, yaitu berhubungan dengan pelaksanaan sistem politik seperti tatanan politik, legitimasi dan kehidupan berpolitik. Bentuk nilai keutamaannya seperti demokrasi, martabat manusia, kesejahteraan warga negara, dan kebebasan berpendapat.
Etika politik juga mengharuskan sistem politik menjunjung nilai-nilai keutamaan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis maupun normatif. Misalnya legitimasi politik harus dapat dipertanggungjawabkan demikian juga tatanan kehidupan politik dalam suatu negara.
Etika pemerintahan berhubungan dengan keutamaan-keutamaan yang harus dilaksanakan oleh para pejabat dan pegawai pemerintahan. Karena itu dalam etika pemerintahan membahas perilaku penyelenggara pemerintahan, terutama penggunaan kekuasaan, wewenang termasuk legitimasi kekuasaan dalam kaitannya dengan tingkah laku yang baik atau buruk. Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam undang-undang dasar baik yang dikatakan oleh dasar negara maupun dasar-dasar perjuangan negara, serta etika pegawai pemerintahan. Wujudnya di Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasr 1945 sekaligus Pancasila sebagai dasar negara, serta doktrin dan etika Pegawai Negeri Sipil.
Doktrin Pegawai Negeri Sipil dinamakan “Bhinneka Karya Abdi Negara” yaitu walaupun anggota-anggota KORPRI melaksanakan tugas di berbagai bidang dan jenis karya yang beraneka ragam, tetapi adalah dalam rangka pelaksanaan pengabdian kepada bangsa, negara dan masyarakat Indonesia. Etika Pegawai Negeri Sipil disebut dengan “Panca Prasetya KORPRI”, yaitu anggota KORPRI beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah insan yang:
1)      Setia dan taat kepada negara kesatuan dan pemerintah Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2)      Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara.
3)      Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan.
4)      Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan KORPRI
5)      Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 64-65)
Widjaja (Dharma Setyawan Salam, 2004: 67) mengatakan bahwa etika berupa ajaran untuk mencapai tujuan dalam mewujudkan pemerintahan yang stabil dan berwibawa menghendaki kondisi yang baik dari pelaksana-pelaksananya. Dalam rangka menegakkan suatu pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, maka etika pemerintahan juga harus memperhatikan perkembangan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai hubungan yang sinergis antara negara, swasta dan masyarakat.
Sejarah pemerintahan di Indonesia membuktikan bahwa etika pegawai negeri yang tercantum dalam Panca Prasetya KORPRI maupun yang diatur secara tersirat dalam peraturan perundang-undangan yang ada belum mampu menjadi pedoman perilaku bagi pejabat dan Pegawai Negeri Sipil di Indonesia. Misalnya, praktik-praktik penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi dan nepotisme tetap marak dalam setiap babakan sejarah pemerintahan di Indonesia.
Karena itu etika pemerintahan harus diimplementasikan secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan (baik undang-undang maupun peraturan daerah). Pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini didasarkan pada hakikat pemerintahan berdasarkan pandangan etika pemerintahan adalah penerapan suatu kewenangan yang berdaulat secara berkelanjutan berupa penataan, pengaturan, penertiban, pengamanan dan perlindungan terhadap sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu baik secara arbiter maupun berdasar pada peraturan perundang-undangan.
Di samping itu, pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan etika kepemerintahan, yaitu:
1)      Menciptakan pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.
2)      Menempatkan segala perkara pada tempatnya sesuai dengan kodrat, harkat, martabat manusia serta sesuai dengan fungsi, peran dan misi pemerintahan.
3)      Terciptanya masyarakat demokratis.
4)      Terciptanya ketertiban, kedamaian, kesejahteraan dan kepedulian.
Dapat disimpulkan bahwa pemerintahan pada dasarnya merupakan upaya menjalankan kekuasaan untuk mencapai tujuan tertentu. Namun demikian, dalam menjalankan pemerintahan itu, penguasa (termasuk aparatur pemerintahan daerah) harus bersikap adil, jujur, menjunjung tinggi hukum dan memanusiakan manusia. Karena itu dalam etika pemerintahan, memerintah berarti menerapkan kekuasaa secara adil (baik secara hukum alam maupun hukum positif) dan memanusiakan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya.
Implikasinya dalam menerapkan kekuasaan tidak berdasarkan kekuasan fisik tetapi berdasr asas kesamaan/kesetaraan, kebebasan, kepedulian/solidaritas, dan menjunjung tinggi hukum. Dengan penerapan asas ini maka diharapkan penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan dapat dihindari.
Sebaliknya, penyelenggaraan pemerintahan (pemerintahan daerah) juga memerlukan kekuasaan dalam bentuk wewenang dan otoritas. Dengan kekuasaan ini, pemerintah (pemerintah daerah) memiliki hak untuk menuntut ketaatan dan memberi perintah kepada orang-orang yang diatur atau diperintahnya. Namun demikian, kekuasaan, wewenang, otoritas serta hak-hak yang melekat itu harus memiliki legitimasi (keabsahan) berdasarkan norma tertentu. Di samping itu, sudah menjadi kewajiban moral bagi aparatur pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan segala sikap dan perilakunya.
            Syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh aparatur pemerintahan daerah dalam setiap perbuatan hukumnya agar dapat diterima oleh masyarakat adalah sebagai berikut:
1)      Efektifitas. Kegiatan harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan atau direncanakan.
2)      Legitimasi. Kegiatan pemerintah daerah harus dapat diterima masyarakat dan lingkungannya.
3)      Perbuatan para aparatur pemerintahan tidak boleh melanggar hukum.
4)      Legalitas. Semua perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan hukum yang jelas.
5)      Moralitas. Moral dan etika umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi.
6)      Efisiensi. Kehematan biaya dan produiktivitas wajib diusahan setinggi-tingginya.
7)      Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 88-89)
E. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Orientasi pembangunan pada pemerintahan sentralistik dan desentralistik berbeda dalam konteks untuk apa suatu pembangunan atau kebijakan dirumuskan. Pada pemerintahan sentralistik pembangunan seringkali justru digunakan untuk kepentingan pemerintah itu sendiri dan sedikit yang diberikan kemanfaatannya kepada masyarakat. Pada pemerintahan desentralistik pembangunan atau kebijakan idealnya dirumuskan justru untuk memenuhi kebutuhan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Kelemahan pada pemerintahan desentralistik, seringkali kebijakan berjalan lambat karena harus memenuhi aspirasi dari berbagai kompenen dan lapisan masyarakat, sedangkan pada pemerintahan sentralisitik, suatu kebijakan bisa dijalankan dengan cepat. Namun demikian, secara ideal hasil yang diharapkan dari dua pola perumusan dan pelaksanaan kebijakan di atas, pada pemerintahan yang menganut desentralisasi lebih memenuhi aspirasi publik secara demokratis dibandingkan pendekatan pertama.
Untuk melaksanakan pembangunan daerah secara tepat, efektif dan efisien, dibutuhkan kredibilitas sumber daya manusia masyarakat itu sendiri, dan kualitas aparatur pemerintahan. Di sini dibutuhkan adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintah daerah yang mampu merespon persoalan masyarakat setempat. Pembangunan daerah merupakan tugas yang terbebankan kepada seluruh masyarakat di daerah. Pembangunan daerah tidak hanya dimonopoli oleh pemerintah kabupaten dan kota saja, melainkan juga tugas dari masyarakat untuk mengarahkan, menentukan dan mengontrol proses pelaksanaan pembangunan daerah itu sendiri.
Bowman dan Hampton (dalam Ainur Rohman dkk, 2009: 51) menyatakan bahwa tidak ada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang sangat luas dapat menentukan kebijakan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijakan dan progam-programnya secara efisien melalui sistem sentralisasi. Karena itu, urgensi pelimpahan kebutuhan atau penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat, baik dalam konteks politis maupun secara administratif, kepada organisasi atau unit di luar pemerintah pusat menjadi hal yang sangat penting untuk menggerakkan dinamika sebuah pemerintahan. Sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi pada akhirnya menjadi pilihan akibat ketidakmungkinan sebuah negara yang wilayahnya luas dan penduduknya banyak untuk mengelola manajemen pemerintah secara sentralistis.
Desentralisasi dalam hal ini juga diminati karena di dalamnya terkandung semangat demokrasi untuk mendekatkan partisipasi masyarakat dalam menjalankan sebuah pembangunan. Pada perkembangannya lebih jauh, desentralisasi lalu menjadi semangat utama bagi negara-negara yang menyepakati demokrasi sebagai landasan gerak utamanya. Kesamaan orientasi desentralisasi dan demokratisasi inilah yang membuat sebuah pemerintahan di masa kini tidak bisa lagi memerintah secara sentralistiks. Terdapat kesadaran baru di kalangan para penyelenggara pemerintahan bahwa masyarakat merupakan pilar utama yang harus dilibatkan dalam berbagai proyek pembangunan.
Isu demokrasi yang semakin menguat terutama di negara-negara berkembang, yang oleh Hungtington diistilahkan sebagai kekuatan gelombang ketiga (third wave) merupakan angin segar bagi semangat mengembangkan desentralisasi secara teoritik. Demokrasi yang mempersyaratkan tumbuhnya masyarakat sipil ditopang dengan sistem pemerintahan desentralistik yang juga mempersyaratkan partisipasi masyrakat secara penuh. Masyarakat sipil dan partisipasinya dalam pembangunan suatu negara merupakan bagian tak terpisahkan. 
Abdul Wahab (Ainur Rohman dkk, 2009: 52) menyatakan bahwa wacana desentralisasi dalam kepustakaan politik dan pemerintahan lokal sebenarnya berangkat dari tradisi pemikiran politik yang poliarkis. Pemikiran politik poliarkis adalah sebuah pemikiran yang memberikan apresiasi tinggi terhadap adanya ruang kebebasan bagi masyarakat. Pemikiran ini juga membiasakan diri dengan pemikiran-pemikiran alternatif untuk memecahkan kebutuhan dari suatu masalah, terutama ditujukan untuk hadirnya unit-unit politik independen di luar cakupan negara. Isu demokratisasi di negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga pada era 1980an turut memberikan andil bagi semakin majunya studi-studi baru tentang desentralisasi. Secara konseptual, perspektif politik desentralisasi (political decentralization perspective) seperti pada fokus studi dari Mawhood, Goldberg, Kingsley, Sherwood, Rondinelli dan banyak pakar lainnya merupakan sumbangan atas perkembangan pemerintahan modern yang bersifat devolutif. Secara prinsip dikemukakan bahwa desentralisasi adalah devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (the devolution of power from central to local government).
Di Indonesia, keberadaan UU No 5 Tahun  1974 tentang Pemerintahan Daerah dianggap sebagai sumber sentralisasi kebijakan pembangunan. Dengan datangnya reformasi pemerintahan dan melahirkan UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999, dan direvisi dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah lebih membuka peluang partisipasi publik direalisasikan dalam rangka merumuskan kebijakan pembangunan. Walaupun demikian, masih membuka sejumlah pertanyaan, di antaranya sejauh mana keberadaan undang-undang yang demokratis tersebut melahirkan kebijakan pembangunan yang demokratis dan benar-benar menghasilkan suatu produk pembangunan yang diharapkan oleh publik.
Banyak kasus perumusan kebijakan yang belum benar-benar mengadopsi kaidah demokrasi secara substansial. Demokrasi dan partisipasi publik yang diterapkan masih sebatas isu formal dan begitu pula dalam pelaksanaan di lapangan. Di berbagai daerah masih terdapat tarik-menarik baik antara kepentingan pusat dan daerah, maupun kepentingan pemerintah dan warga, dari tarik-menarik tersebut, fakta umumnya kepentingan publik seringkali terabaikan.
Partisipasi publik dalam perumusan dan pelaksanaan APBD pada pemerintahan, misalnya, memiliki fungsi penting dalam rangka mengurangi bahkan mengantisipasi aparatur yang bermaksud melakukan penyelewengan terhadap penyaluran dan penggunaan APBD sebagaimana yang terjadi selama ini. Beberapa contoh kasus menunjukkan partisipasi publik masih lemah dalam rangka ikut serta merumuskan kebijakan pembangunan daerah yang tercermin dalam proses perumusan APBD-nya.
Penelitian yang dilakukan oleh Solidaritas Gerakan Anti Korupsi (SoRAK) Aceh, Lakaspia Institute, CAJP serta didukung oleh Partnership di enam kabupaten/kota di Aceh, yakni Kota Banda Aceh, Kota Lhoksemawe, Bireun, Aceh Tengah, Aceh Barat dan Aceh Utara, menunjukkan bahwa Anggran Belanja dan Pendapatan Kabupaten/Kota (APBK) 2007 dinilai sangat mengecewakan. Partisipasi publik masih sangat rendah. Dari enam kabupaten/kota yang diteliti diperoleh gambaran bahwa 74 % masyarakat menyatakan tidak pernah secara aktif ikut serta dalam pembangunan melalui mekanisme musyawarah kerja pembangunan (musrenbang). Selain itu, 68 % masyarakat tidak tahu persis visi dan misi kepala daerah yang baru, serta 92 % lainnya tidak pernah membaca dokumen perencanaan pembangunan pemerintah daerah (Ainur Rohman dkk, 2009: 53).
Demikian pula di beberapa daerah lainnya dapat disimpulkan bahwa partisipasi publik dalam proses pembangunan daerah belum berjalan secara maksimal. Di antara berbagai contoh tersebut, yang sering muncul adalah partisipasi dalam pengertian kualitas dan kuantitas. Adakalanya partisipasi publik bisa dinilai tinggi dalam konteks kuantitas atau keterlibatan secara fisik namun belum membuahkan hasil yang maksimal dalam konteks kualitas. Misalnya, perumusan kebijakan APBD masih sering sebatas mementingkan “keinginan” daripada “kebutuhan” yang sesungguhnya. Masyarakat belum mampu mengidentifikasi dan merumuskan kebutuhannya sendiri secara ideal, sehingga apa yang dinyatakan oleh elit pemerintahan dianggapnya sebagai suatu kebenaran.
Dalam konteks kesejahteraan, keberhasilan sejumlah pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya memang belum maksimal ditinjau dari pencapaian angka human development index (indeks pembangunan manusia- IPM) sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. Saat ini IPM daerah-daerah baru mencapai angka 60 hingga 69. Adapun angka IPM ideal menurut World Bank adalah 80 (Ainur Rohman dkk, 2009: 54)
Dalam pengamatan sementara ini, dapat disimpulkan proses yang terjadi dalam partisipasi pembangunan di daerah secara formal sudah dilaksanakan, namun belum menghasilkan arah kebijakan yang berarti  dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah yang terdapat dalam masyarakat. Ironisnya terdapat suatu tradisi umumnya program pembangunan yang seringkali hanya merupakan pengulangan-pengulangan masa lalu. Program pembangunan yang direncanakan belum didahului dengan studi dan analisis yang mendalam tentang mengapa, bagaimana, dengan cara dan untuk apa suatu kebijakan diterapkan.
Di sisi lain, aspek kepentingan politik segolongan masyarakat dan pertentangannya dengan lainnya seringkali mengabaikan kepentingan umum dari tujuan pembangunan itu sendiri. Hal tersebut di lapangan pada akhirnya mengakibatkan masyarakat menjadi korban tarik-menarik secara politis dalam proses perencanaan pembangunan itu sendiri. (Ainur Rohman dkk, 2009: 55)
   Masyarakat ikut berpartisipasi dalam pembangunan, sebab dalam diri mereka ada keinginan dan kegairahan untuk merubah masa depannya agar lebih baik. Keinginan serta kegairahan tersebut harus dapat terwujud, sebab usaha-usaha dari pembangunan itu langsung menyangkut kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Ada dua faktor yang mempengaruhi terhadap berhasil atau gagalnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh Conyers (Ainur Rohman dkk, 2009: 49) yaitu: pertama, hasil keterlibatan masyarakat itu sendiri, masyarakat tidak akan berpartisipasi atau kemauan sendiri atau dengan antusias yang tinggi dalam kegiatan perencanaan kalau mereka merasa bahwa partisipasi mereka dalam perencanaan tersebut tidak mempunyai pengaruh pada rencana akhir. Kedua, masyarakat merasa enggan berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak menarik minat mereka atau yang tidak mempunyai pengaruh langsung dapat mereka rasakan.
Dari berbagai pengalaman pembangunan daerah menunjukkan bahwa tanpa partisipasi masyarakat, maka pemerintahan daerah kekurangan petunjuk mengenai kebutuhan dan keinginan masyarakatnya. Investasi yang ditanamkan di daerah juga tidak mengungkapkan prioritas kebutuhan masyarakat. Selain itu sumber-sumber daya masyarakat yang potensial untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat daerah tidak terungkap, dan standar-standar dalam merancang pelayanan dan prasarana yang tidak tepat.
Berbagai kasus yang tersaji menunjukkan bahwa dengan dibukanya kesempatan berpartisipasi, masyarakat menjadi lebih perhatian terhadap permasalahan yang dihadapi di lingkungannya dan memiliki kepercayaan diri bahwa mereka dapat berkontribusi untuk ikut mengatasinya. Proses dialog stakeholders telah mendorong pemerintahan agar lebih terbuka terhadap masukan stakeholders lain dan lebih responsif terhadap tuntutan  masyarakat. Berbagai praktik partnership menunjukkan bahwa kerja sama yang baik hanya dapat berlangsung apabila komunikasi yang sehat antara pemerintah dan masyarakat terbangun (Sumarto dalam Ainur Rohman dkk, 2009: 48).












Tidak ada komentar:

Posting Komentar